TINTAKALTIM.COM-Tujuannya ke Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar), ada yang menyebut ini perjalanan wisata. Tapi, lainnya menilai perjalanan ziarah yang penuh dimensi spiritual. Bisa disebut juga wisata spiritual.
Bagi kebanyakan orang, ziarah lazim disebut ke makam atau kuburan. Maknanya, luas. Ada yang mengartikan silaturahmi. Ada yang ingin keberkahan, juga menyadarkan penziarah akan kealiman dan kesolehan orang yang berada di dalam kubur.
Ada kemuliaan yang ingin dicapai. Sehingga, tak heran di negeri ini, terutama di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi ziarah ke makam ulama semisalnya ke makam para wali atau orang-orang yang ikut menyebarkan ajaran Islam pun dilakukan.
“Niat saya bersama istri dan keluarga ke Sulbar melakukan ziarah. Tujuannya, mencari keberkahan. Bukan dengan yang sudah wafat. Tapi, kepada Allah melalui wasilah atau tawasul. Orang-orang sholeh. Selain menghadiri undangan ultah Sulbar ke-16,” kata H Rahmad Mas’ud SE ME yang membawa rombongan ziarah ke Sulbar.
Rahmad didamping kerabat dekatnya Ustaz Mustaqim Lc MM dan Abah Hajar Nuhung, Abah Tahir dan lainnya. Bahkan, di setiap makam, ustaz selalu memimpin doa ziarah. Rahmad dan istri berada di sisi makam ikut memanjatkan doa.

“Itu namanya wasilah atau tawasul atau memohon dan berdoa kepada Allah dengan perantara nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Allah. Jadi meminta kepada Allah, bukan pada manusia, apalagi benda mati,” urai Ustaz Mustaqim.
MAKAM IMAM LAPEO
Makam pertama yang diziarahin Rahmad Mas’ud dan istri serta keluarga adalah makam Sayyid Maulana Mahdar Al-Qadrie yang biasa oleh keturunannya menyebut Puang Sayye Layo. Kata Layo dalam perspektif bahasa Mandar berarti tinggi. Karena, almarhum orangnya tinggi besar.
Abah Hajar Nuhung, keluarga Rahmad yang pernah menjadi ketua DPRD di Sulbar, menyebut silsilah almarhum dengan Rahmad Mas’ud ada. Karena, neneknya bernama Syarifah Mahalia merupakan anak dari Puang Sayye Layo. Puang Syarifah Mahalia melahirkan 6 orang anak. “Salah satunya bernama Hj Ruwaidah dan merupakan ibu kandung H Rahmad Mas’ud,” kata Abah Hajar.
Secara silsilah, Abah Hajar menyebutkan, kalau almarhum Sayyid Maulana Mahdar Al-Qadrie masih berkeluarga dengan Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6. Dialah Sultan Hamid II yang lahir dengan nama Syarif Hamid Al-Qadrie dan disebut-sebut perancang lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Abah Hajar Nuhung, yang keluarga dari Rahmad Mas’ud ini menyebutkan, selain ziarah, jika ke Sulbar Rahmad-istri juga dikenal di Sulbar sebagai orang yang ‘ringan tangan’ dan selalu bersedekah. Ke masjid-masjid, warga sekitar dan juga orang yang ditemuinya. “Itulah hidup berkah Pak Bos (H Rahmad Mas’ud). Semoga rezekinya selalu melimpah,” doa Abah Hajar.

Perjalanan penuh spiritual itu dilanjutkan. Rahmad-istri dan rombongan juga berziarah ke makam KH Muhammad Tahir atau Imam Lapeo yang terletak di samping Masjid Nuruttaubah, Desa Lapeo Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar Sulbar. Posisinya, berada tepat di sisi jalan poros Polman-Majene.
Dialah ulama paling terkenal di Mandar dan dikenal ulama sufi. “Diperkirakan lahir tahun 1838 di Pambusuang. Dan usianya saat wafat 114 tahun,” cerita Abah Hajar. Mengapa dimakamkan di samping masjid? Karena, masjid itu Imam Lapeo yang membangun.

Menurut Abah Hajar Nuhung, masjid itu lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo yang terkenal dengan menaranya yang tinggi. Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak diziarahin oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah. “Ayo kita berdoa mencari berkah. Insya Allah dikabulkan . Sebab, ini ulama besar,” kata Rahmad Mas’ud dan istri yang berdoa saat ziarah di makam Imam Lapeo itu.
Imam Lapeo menurut sejarah yang diketahui Abah Hajar Nuhung, hidupnya diabadikan untuk ilmu dan umat. Ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo. Tentu peranan dan kontribusi Imam Lapeo melalui kerja-kerja sosial-keagamaan dan kebangsaan menjadi lahan, kharisma, popularitas sehingga masyarakat Mandar memposisikannya sebagai Waliullah.

“Makna ziarah itulah yang ingin diresapi H Rahmad Mas’ud dan istri. Ia juga dikenal sebagai orang yang punya jiwa sosial-kemasyarakatan tinggi. Semoga Allah mengabulkan semua hajat dan keinginan Rahmad Mas’ud,” harap H Abah Hajar Nuhung.
Perjalanan ziarah diteruskan ke Kecamatan Malunda Kabupaten Majene. Ada makam waliyullah KH M Husain Puang Kali Malinda (Qadhi Malunda) bersama istri Syarifah Mahlia Al-Qadrie. Mereka adalah ayah dan ibu Hj Ruwaidah yang merupakan ibu dari Rahmad Mas’ud.

“Pak Rahmad dan istri serta keluarga selalu mendoakan dan mencari keberkahan jika ziarah,” kata Abah Hajar, anak dari H Nuhung dan Hj Adawiah ini. Hj Adawiah bersaudara kandung dengan almarhum Hj Ruwaidah, ibu kandung dari Rahmad Mas’ud.
BERJAMAAH DAN SEDEKAH
Dalam safar atau perjalanan ke Sulbar dipimpin Rahmad Mas’ud dan istri, makna spiritual sangat terasa. Dimensi itu terlihat bagaimana rombongan tak boleh luput dari salat berjamaah. Salat jama qashar dilakukan baik di masjid maupun rumah.
Menurut Ustaz Mustaqim, itulah enaknya jika safar bersama Rahmad Mas’ud. Harus ibadah dan implementasinya nilai-nilai spiritual dalam aspek kehidupan. Waktunya salat, ya salat.

“Jadi aspek spiritual itu bukan norma hiasan hidup. Agama memandu seseorang harus menjalankan ibadah dan mengamalkan nilai-nilai agama (taddabur). Supaya dapat berkahnya,” kata Ustaz Mustaqim yang selalu menjadi imam salat rombongan safar.
Salat berjamaah dilakukan di Masjid Imam Lapeo. Rahmad Mas’ud menjadi imam saat salat jama qashar, Juhur dan Ashar. Sebelumnya, rombongan juga mengambil air wudhu. Dan tempat wudhunya adalah peninggalan Imam Lapeo. Airnya dingin, jernih dan mempertahankan bentuk lamanya yakni menggunakan kolam dalam bak serta timba berupa gayung.
Terlihat rombongan safar Rahmad Mas’ud seperti Umi Bintang, ajudan Aan, Andi Welly, Rosman Abdullah, Adi, Sofyan, Aris serta lainnya mengambil air wudhu di tempat itu. “Bismillah, semoga air wudhunya menjadikan hati kita suci dan mendapat keberkahan,” kata Andi Welly, seraya mengusap dahinya dengan air dalam bak itu.

Menurut Umi Bintang, yang juga keluarga Rahmad Mas’ud, air wudhu dalam bak itu, dulu dialirkan menggunakan bambu dari mata air di atas ketinggian Desa Suruang untuk dialirkan ke masjid. “Ini sumber asli dan jaraknya dari sumber mata air kira-kira 5 kilometer,” cerita Umi Bintang. Sontak, semuanya pun bergegas mengambil air wudhu dari bak penampungan itu.
IKONIK MASJID
Bukan itu saja, Masjid Imam Lapeo ternyata merupakan masjid ikonik. Penulis mencoba mendapatkan informasi dari marbot masjid. Di mana, interior masjid dipenuhi dengan berbagai pernik-pernik hiasan bernuansa Islami gemerlapnya hampir memenuhi sudut dan langit-langit masjid. Pada bagian kubah terdapat kaligrafi yang dibuat unik melingkar.

“Masjid ini memang seperti masjid yang reliefnya mirip dengan arsitektur masjid-masjid yang ada di Istanbul, Turki. Atmosfirnya untuk ibadah dan wisata religi. Jadi siapa pun yang salat menyenangkan, hawanya dingin kendati tanpa AC atau mesin pendingin,” ujar, H Mustafa, dari dewan kerukunan masjid (DKM) Masjid Imam Lapeo menjelaskan.
Sudah menjadi kebiasan Rahmad Mas’ud, ia usai menjadi imam salat, langsung bersilaturahmi dengan jamaah lainnya. Juga bersedekah, membagi-bagikan rezeki kepada sejumlah jamaah masjid dan kaum masjid yang berada di sekitaran masjid. “Doakan berkah ya. Semoga bermanfaat,” ujarnya singkat.
Tak hanya berhenti di situ, Rahmad Mas’ud juga bersedekah di kediaman keluarganya Majene. Di sana, ternyata sudah menjadi ‘labelisasi’ atau brand jika keluarga Rahmad Mas’ud datang. Sebutannya, sebagai ‘hari libur nasional’. “Karena warga berkumpul dan mendapatkan sedekah dari Rahmad Mas’ud dan istri,” kata Andi Welly, beristilah.
Safar yang menarik adalah, ke Kali atau Sungai Mamuju. Di sana lah cerita-cerita unik, lucu serta lebih pada edukasi atau pendidikan terjadi. Bahkan, cenderung ada upaya ‘mengerjai’ rombongan. Seperti yang dilakukan Abah Tahir yang dikenal usil.

Sebelum rombongan ke Sungai Mamuju, Abah Tahir selalu berpesan, agar pendatang baru wajib mencium batu besar dan mengelus-ngelusnya. Sebab, itu bagian dari hal mistik yang harus dilakukan. Penulis pun bingung. Sebab, dikhawatirkan ada nuansa ‘membelokan aqidah’. “Kok percaya pada batu ya, benar atau tidak,” pikir penulis
Abah Tahir tak henti-hentinya memberi isyarat mencium batu itu dan harus menyayanginya. Ditambah dengan pernyataan Abah Hajar. Tampaknya, Abah Tahir tak ingin mengisi safar atau perjalanan itu dengan hal –hal serius. Guyonan dilakukan untuk membuat hubungan makin erat, akrab dan hangat.
Tetapi, keusilan Abah Tahir ambyar atau buyar. Karena, ketika penulis ingin turun ke sungai dan melihat batu besar untuk dicium dan dipeluk. Tiba-tiba seorang ibu ditanya oleh Abah Hajar. “Bu mana batu yang harus dipeluk dan dicium oleh bapak ini,” kata Abah Hajar seraya menunjuk diri penulis.
Jawaban ibu tadi ternyata jadi ‘penyelamat’ penulis. “Oh tidak ada semacam itu. Nggak juga begitu pak. Nggak ada itu,” ujar ibu tadi. Kontan, Abah Tahir tertawa terbahak-bahak karena upaya keusilannya gagal total. “Wah ibu nggak kompak. Padahal saya sudah kedipkan mata,” seloroh Abah Hajar. Tapi, suasanya pun jadi penuh persahabatan dan penuh kelakar.
Bukan itu saja, cerita-cerita spiritual, lucu pun selama perjalanan lahir dari Andi Welly dan Ustaz Mustaqim. Yang membuat suasana perjalanan menjadi segar dan penuh taushyiah.
“Siapkan langkah-langkah dan ambil pelampung masing-masing. Serta action today,” seloroh Andi Welly dengan kalimat-kalimat yang tak jelas apa arahnya tapi membuat lucu suasana. Intinya, Rahmad Mas’ud pun dibuat tertawa dan perjalanan itu penuh dengan keakraban dan bernuansa spiritual. Bahkan, sesampai di Balikpapan, Rahmad pun meminta maaf kepada rombongan.
“Saya atas nama keluarga mengucapkan terimakasih atas perjalanan selama di Sulsel dan Sulbar. Mohon maaf jika ada kekurangan atau candaan yang kurang berkenan,” tulis Rahmad Mas’ud lewat aplikasi WhatsApp. (git)