TINTAKALTIM.COM-Penentuan awal Ramadan atau Idul Fitri 1443 H diprediksi potensinya berbeda. Sebab, antara dua ormas besar yakni Muhammadiyah dan NU berbeda dalam metode penetapannya. Hanya, perbedaan itu bukan masalah. Tetapi, dalam ilmu astronomi (falakiyah) menggunakan metode rukyatul hilal, Nahdlatul Ulama berpatokan posisi bulan atau hilal harus 8 jam saat ijtimak.
Ijtimak adalah peristiwa di mana bertemunya posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar. Sehingga, bagi organisasi massa Nahdlatul Ulama (NU), itu wajib diikutin dan jadi dasar kriteria utama.
“Jadi bagi NU rukyatul hilal itu mengikuti hadist Rasulullah. Apabila kalian melihat hilal di bulan Ramadan maka berpuasalah, demikian juga saat melihat bulan Syawal maka berlebaran. Jika mendung mengenapkan 30 hari. Ini metode rukyatul hilal,” kata Ketua Lembaga Falakiyah NU Kota Balikpapan Ibnu Sina menjelaskan makna rukyatul hilal untuk penetapan Ramadan dan Idul Fitri seraya mengutip hadist Bukhari Muslim.
Melihat hilal secara langsung dengan mata kepala dan dibantu peralatan, sudah dipegangi oleh warga nahdliyin (NU), hanya menurut Ibnu Sina harus melihat perubahan wajah bulan dan fase bulan dengan jarak atau sudut elongasi bulan. Elongasi adalah sudut yang dibentuk oleh bulan dan matahari sangat relatif terhadap pengamatan di bumi.
“Kalau bicara perbedaan awal Ramadan dan Idul Fitri, itu dari dulu. Bukan hanya NU-Muhammadiyah tetapi juga ada tareqat Nasqsyabandiyah dan jamaah An-Nadzir yang berbeda dengan umat Islam umumnya,” kata Ibnu Sina mencontohkan.
Ibnu Sina menggambarkan, metode hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria yakni matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan walaupun hanya berjarak satu menit atau kurang.
“Itu dianggap nilai positif, misalnya sudah terjadi konjungsi (bertemunya bulan dengan matahari), sehingga keesokan ditetapkan 1 Ramadan,” kata Ibnu Sina menjelaskan metode hisab itu.
KRITERIA JELAS
Sementara itu, yang diakui NU kata Ibnu Sina, mengacu pada ketentuan kriteria bulan sudah 2 derajat dan sudut elongasi 3 derajat atau hilal sudah berumur 8 jam.
Dalam ketentuannya, mengapa NU melakukan rukyatul hilal, karena dasar laporan rukyat sejak tahun 1969. Sejak itu, hingga sekarang dipakai, kendati data derajatnya diperbarui. Hanya, rukyatul hilal telah dilakukan sejak zaman Rasulullah.
“Bahkan kita menggunakan kriteria MABIMS yaitu penentuan awal Ramadan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah negara-negara Malaysia, Brunei Darusalam, Indonesia dan Singapura,” jelas Ibnu Sina.
Dalam kriteria MABIMS, yang lama menggunakan posisi bulan 2 derajat. Tetapi sekarang ada kriteria Neo MABIMS yang pola penentuan posisi bulan 3 derajat dan sudut elongasi mencapai 6,4 derajat.
“Jadi ada ratusan titik yang menjadi observasi atau dilihatnya bulan. Sehingga, benar-benar rukyatul hilal itu secara hukum, fiqih dan ilmiah dipertanggungjawabkan. Makanya yang melihat bulan disumpah,” ujarnya.
Bulan atau hilal kata Ibnu Sina, ada istilah cahaya safak atau cahaya senja. Biasanya berwarna kemerahan. Intensitas cahaya safak lebih cerah dari cahaya hilal. Dan hilal sangat singkat sesaat setelah matahari terbenam dan posisi hilal berdekatan waktunya dengan terbenamnya matahari.
“Sehingga bisa terjadi cahaya hilal kalah dengan cahaya safak. Makanya, jangan sampai melihat cahaya tetapi harus bulannya. Itulah ada penentuan derajat bulan tadi,” ungkapnya.
Disinggung kaitan keberadaan hisab, menurut Ibnu Sina, kalangan NU juga menghargai. Bahkan, metode itu dijadikan acuan untuk melakukan rukyatul hilal.
“Sekali lagi, penentuan awal bulan baik 1 Ramadan dan 1 Syawal bagi NU itu sudah wajib rukyatul hilal. Sebab, itu akan lebih tegas dalam menentukan visibilitas hilal dan menjadi parameter utama yang umum digunakan dalam penetapan awal bulan,” tegasnya.
AHLI ASTRONOMI
Di bagian lain Ibnu Sina juga menjelaskan kaitan penyatuan kalender Islam yang lebih menitikberatkan pada kriteria visibilitas hilal. Justru, ahli falakiyah Muhammad Ilyas menyarankan, agar beda tinggi bulan dan matahari agar hilal dapat teramati adalah 4 derajat. “Hanya kan belum ada kesepakatan dan diterima oleh umat Islam secara keseluruhan,” contoh Ibnu Sina.
Intinya kata Ibnu Sina, bagi warga nahdliyin tetap mengacu pada rukyatul hilal. Kalaupun ada perbedaan dengan pola hisab (perhitungan), itu biasa dan perbedaan adalah rahmat.
“Hanya bagi NU, rukyatul hilal itu shahih dan tingkat akurasinya tinggi. Sebab, melihat bulan secara langsung dengan kriteria yang sangat rasional,” pungkas Ibnu Sina sembari menyarankan jika ada perbedaan, NU tetap yakin dengan keputusan PBNU dan pemerintah. (gt)