TINTAKALTIM.COM-Konflik dua pengusaha properti Balikpapan antara Direktur Utama PT Lidia & Dandy, Suhardi Hamka dan Direktur Utama PT Borneo Delapan 6, H Jamri belum juga tuntas. Bahkan, Jamri memasang spanduk yang intinya mengingatkan kaitan pailit dan putusan hukum lainnya di depan rumah Suhardi Hamka. Termasuk menang dalam kasasi.
Sontak, itu membuat Suhardi berang dan marah. Ia menyebut, perbuatan Jamri dinilai ilegal dan membuat perasaan tidak senang. Sehingga, Suhardi membuat aksi protes di depan rumahnya sebagai bentuk counter atas tindakan ilegal sejumlah pihak.
Aksi Suhardi menggandeng pengurus cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Balikpapan. Karena dianggap, Suhardi adalah senior PMII dan langkah mahasiswa sebagai gerakan solidaritas. Sehingga, Suhardi dan mahasiswa pun melakukan orasi
Spanduk yang dipasang Jamri dan kelompoknya bertuliskan Putusan Nomor 3261_K/P/PDT/2022 Mahkamah Agung Tingkat Kasasi yang Dimenangkan Oleh PT Borneo Delapan Enam & PT Graha Nusa Pertiwi. Menunggu Hasil Lelang dari Kurator Tentang Kepailitan Suhardi dan PT Lidia dan Dandy dengan Nomor: 7/PDT G SUS Pailit/2022/PN: Niaga SMG.Jo Nomor: 41/PDT.Sus PKPU/2021/PN Niaga Smg Tanggal 18 Maret 2022 Mengamankan Seluruh Aset Suhardi dan PT Lidia dan Dandy.
Menurut Suhardi Kamis (20/07/2023), sekelompok orang tidak dikenal suruhan H Jamri mengepung dan memasang beberapa spanduk berisikan penyitaan aset miliknya. Spanduk dipasang tepat di depan pagar kediamannya Kompleks BDS 2 Balikpapan Selatan
Akhirnya Suhardi melakukan aksi. Ia bersama pengurus PMII menyuarakan tindakan ilegal sekelompok orang yang memasang spanduk sitaan itu.
Menurut Suhardi, pemasangan spanduk menyalahi hukum dan tanpa izin pemilik rumah. Yang berhak memasang spanduk putusan pengadilan adalah aparatur negara yang ditunjuk dan atas nama negara atau pengadilan.
“Kegiatan mereka ilegal. Tentu tidak berdasarkan hukum yang dilakukan pihak tertentu,” kata Suhardi dalam orasinya.
Dikatakan Suhardi, spanduk yang dipasang adalah spanduk yang berisi gugatan H Jamri sebesar Rp7,3 miliar dan permohonan sita jaminan atas sertifikat yang letaknya di Perumahan Batakan Asri Dua. Dan, satu hal yang menjadi catatan penting, permohonan sita jaminan atas aset ini ditolak oleh pengadilan.
Selain itu, jika Jamri mau mengakui secara jujur dan bersumpah sebagai seorang muslim, dia mengetahui bahwa yang menggunakan dana Rp7,3 miliar adalah GE bukan dirinya.
“Sebagai orang yang taat hukum, saya menghormati putusan pengadilan Rp7,3 miliar ditanggung renteng antara saya dan PT Lambuno Graha Bangun Terpadu. Tapi, putusan Pengadilan Niaga Surabaya justru Jamri (owner PT Borneo Delapan Enam) mengaku punya utang jatuh tempo Rp15 miliar dari total tagihan yang saya ajukan Rp65 miliar,” urai Suhardi.
Terhadap tagihan Rp15 miliar yang sudah jatuh tempo itu, sudah diputus Pengadilan Niaga Surabaya dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada 6 Oktober 2021 melalui putusan pengesahan perdamaian (homologasi) dan pembayarannya akan diangsur selama 15 tahun setelah grace period (masa tenggang) 20 tahun 8 bulan.
“Terhadap putusan itu, saya harus menghormati dan saya minta Jamri harus juga patuh terhadap hukum, bukan melakukan cara atau tindakan ilegal. Tolong dibayar juga,” kata Suhardi
MENCABUT
Suhardi meminta kepada Jamri agar segera mencabut spanduk-spanduk yang membentang di depan pagar rumahnya. Dan Jamri tidak melakukan tindakan provokatif. Sebab, permohonan penetapan eksekusi atas putusan MA yang terdapat dalam spanduk telah ditolak Ketua Pengadilan Negeri Balikpapan.
“Karena H Jamri yang memasang, tolong dia juga yang melepasnya dan lakukan secepat mungkin. Jangan membuat suasana keruh dan provokasi,” pinta Suhardi.
Dalam orasi lainnya, PMII menilai bahwa pemasangan spanduk mempertontonkan ketidakadilan melalui hak warga negara soal perlindungan hak warga negara. “Seolah aparatur negara menjadi penonton, negara menutup mata dan tidak hadir atas tindakan sejumlah pihak tak dikenal,” kata salah satu orator PMII.
Kehadiran PMII bentuk solidaritas, bukan membela senior tetapi kehadiran tersebut untuk memberikan rasa keadilan. Keadilan yang harusnya negara bisa hadir bersikap netral.
Kuasa Hukum H Jamri, Kahar Juli menegaskan, spanduk dipasang memang atas permintaan dari kliennya. Sebab, Jamri gundah sebab proses pailit berjalan terlalu lama
Sementara Suhardi mempertanyakan kapasitas sekelompok orang tidak dikenal mamsang spanduk putusan kasasi di pekarangan rumahnya. Untuk itu, Suhardi juga membalas memasang baliho besar di depan rumah berisi tagihan atas standing instruction (SI) Rp15 juta per unit rumah untuk pengusahaan PT Lidia & Dandy milik Suhardi Hamka dan tagihan dana pribadi Suhardi sebesar Rp5 miliar dan total tagihan Rp65 miliar.
KANTOR BOLEH
Sementara itu, H Jamri yang dikonfirmasi media ini menegaskan, pemasangan spanduk itu sebelumnya sudah dapat izin dari pihak Suhardi . Karena, jika dipasang di kantor boleh, tetapi rumah pribadi tak boleh.
“Kenapa di rumah tak boleh. Karena, Suhardi malu dengan tetangga. Makanya tetap kita pasang agar publik mengetahui proses hukum yang sebenarnya,” ujar Jamri.
Menurut Jamri, pemasangan itu karena Suhardi dianggap sudah mengajukan pailit ke pengadilan negeri. “Karena pailit, maka saya mengajukan sita jaminan. Dan, kurator biar mudah bekerja,” ujar Jamri.
Baik Suhardi maupun Jamri sudah bersengketa beberapa tahun dan tak kunjung usai. Padahal, keduanya pernah tergabung di perusahaan konsorsium PT Delapan Enam, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti yang kompleksnya bernama Bukit Batakan Permai.
Kabarnya, sudah 5 kali H Jamri melaporkan Suhardi Hamka dengan berbagai macam dugaan pidana, dan empat lainnya sudah SP3 karena tak memenuhi syarat sehingga dihentikan penyidikannya.
Dijelaskan Jamri, sekarang ini sudah ada kurator untuk menghitung pailit Suhardi. Tetapi, rumah Suhardi masih ditempati sehingga sulit untuk kurator bekerja. “Sehingga, saya punya alternatif untuk memasang spanduk. Sebab, saya kan menang,” ujar H Jamri. (gt)