Sahabat saya menyampaikan ucapan Idul Fitri. Ia bilang, kita harus bersyukur karena Allah menemukan kita di bulan Ramadan dan dapat berpuasa serta melakukan rangkaian ibadah lainnya: Itu Rezeki. Sebab, banyak yang tak dapat bertemu Ramadan karena meninggal duluan, katanya.
Kata rezeki, itu selalu hadir dalam hidup kita. Orang berusaha ujungnya ya cari rezeki. Ilmu itu rezeki, kedudukan juga rezeki, cantik dan tampan atau jelek pun itu rezeki. Sehat, bisa tertawa, menghirup udara itu rezeki. Jangan dipersempit maknanya.
Saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) rezeki itu segala sesuatu pemberian Tuhan yang dipakai untuk memelihara kehidupan. Bahkan, rezeki itu bukan hanya benda atau harta termasuk uang. Justru, rezeki itu ada yang menyebut kesehatan dan kesempatan.
Sahabat saya bersilaturahmi dan cerita: Ia sebut, rezeki itu ada yang dihasilkan lewat usaha dan ada pula berbentuk hadiah. Rezeki lewat usaha yakni kerja, berdagang, apapun profesi Anda dan lainnya. Intinya halal.
Itu kaitan dengan rezeki atau kekayaan dunia. Ini tak terkait kualitas keimanan. Sebab, sering toh menjumpai orang yang ingkar, jahat tetapi hidupnya sukses dan tetap diberi rezeki.
Suasana makin penuh kesejukan. Sahabat saya ternyata lulusan Universitas Al-Azhar. Ia 12 tahun di Kairo menimba ilmu hukum Islam. Silaturahmi sambil disisipi guyonan. Ia sebut, rezeki itu kadang di luar prediksi manusia.
Tanpa jerih payah rezeki juga datang. Kadang, dia tak mampu tapi disebut ‘mampu’ karena bisa menunaikan ibadah haji tanpa disangka-sangka. Inilah rezeki hadiah. Diperoleh karena sifat rahim atau kasing sayang Allah. Siapapun diberi rezeki, mau beriman atau tidak.
Lalu saya bertanya: orang yang bertaqwa, salatnya rajin, budi pekertinya santun, baik, sering membantu orang, mengapa seret rezekinya?
Dan, saya pun menukil ayat Alquran yang menyebut: Barangsiapa yang bertaqwa, Allah akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka dan dicukupkan keperluannya.
Dia menjawab: Itulah rezeki: Ada yang cash tetapi ada yang ditunda. Orang bertaqwa ada yang rezekinya dikabulkan di dunia, tetapi orang bertaqwa Allah juga sayang misalnya dalam proses hidup dijauhkan dari kemaksiatan dan musibah itu juga rezeki. Ada yang nikmat ibadah, itu rezeki. Punya sahabat baik itu rezeki.
“Ingat banyak orang kaya stress, rumah tangganya hancur dan tidak menikmati hartanya dengan baik. Tetapi, ada yang hidup seadanya, dia bahagia lahir-batin,” contoh sahabat saya.
Jadi kalau dia bertaqwa dan jadi orang baik di dunia, lalu rezekinya seret. Bisa saja kata sahabat saya, Allah ingin memberi balasan yang lebih besar kepada hambanya di akhirat kelak. Sebab balasan Allah tak hanya di dunia.
Sehingga, tidak boleh membandingkan rezeki dengan sahabat atau orang lain yang tidak beriman lalu rezekinya lancar. Intinya terus berprasangka baik dengan Allah, mungkin Allah sayang dengan orang itu.
Karena katanya, rezeki itu tidak pernah tertukar. Terkadang kita marah karena mengejar rezeki sampai siang-malam dan berupaya maksimal, hasilnya nihil. Itulah rezeki. Terkadang dikejar dapat, dikejar tak dapat bahkan tidak dikejar pun datang.
Mengapa rezeki seret? Ingin kaya tak jadi kaya. Sahabat saya tersenyum. Allah Maha Tahu, jika misalnya diri kita diberi kekayaan mungkin akan sombong. Lalu kalau kita dibuat kaya sekarang, nanti kufur nikmat, jadi kuncinya berusaha dan berdoa dilandasari kesabaran.
Sahabat saya juga mengingatkan, rezeki bisa datang jika ada kelebihan walaupun sedikit tapi berbagi: lewat sedekah baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Karena, sahabat Rasulullah Abdurrahman bin Auf juga sedekah terang-terangan.
Diskusi sekaligus tausyiah sahabat itu juga menyinggung rasa syukur. Terkadang manusia katanya lupa bersyukur, padahal itu dimensi kehidupan yang paling tinggi. Makanya katanya, nikmat Tuhan itu tak terhingga. Jika ada 100 nikmat, maka baru 1 nikmat diberikan kepada manusia. Itulah ada 32 kali disebut dalam Surah Ar-Rahman: Maka Nikmat Tuhan Kamu yang Manakah Kau Dustakan.
Ia lalu mengingatkan, hidup jangan hasad. Karena, hasad itu kata Rasulullah, memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar. Habis amal dipindahkan kepada mereka yang kena hasad. Dan hasad itu ya iri hati, dengki. Membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang orang alami.
“Makanya ada orang berbuat baik seumur hidupnya, tetapi hasad dengan tetangga, teman dan lainnya. Maka dia adalah orang bangkrut. Sebab, kebaikan yang diperbuat diberikan kepada mereka yang kena hasad tadi. Makanya, kalau bicara rezeki; santai dan yakin bahwa di dunia porsi rezeki manusia sudah disiapkan Allah dan TIDAK TERTUKAR,” pungkas sahabat saya sembari mengakhiri tausyiahnya dan maaf lahir bathin.**