Penulis: Munir Asnawi
TINTAKALTIM.COM-“Modeee”. Mendengar sapaan ini, spontan pula anak-anak, gadis, perjaka hingga nenek dan kakek suku Li dan Miao mengacungkan jempol sembari membalas :”modeee”. Inilah sapaan atau salam akrab suku minoritas penghuni Hainan, China. Salam itu juga bermakna “bulong” (selamat datang) di desa yang ditetapkan Unesco sebagai The wolrd hatengible culture haritage.
Setiap wisatawan melangkah masuk ke perkampungan Yi Tian Gu Zhai di luar Kota Sanya, Provinsi Hainan wajib menyapa dengan salam itu. Warga suku Li dan Miao berbusana hitam dihiasi sulaman dengan senyum simpul teramat manis menyambut salam, terlebih emak-emak. Bibirnya yang merah dengan air pinang membuat wajahnya makin cantik.
Bila salam sudah dibalas salam, wisatawan bisa dengan bebas foto dengan siapapun, foto dengan emak penenun, pembuat kripik kelapa, pembuat tembikar, pembuat arak, juga dengan kakek pemain musik tradional, bahkan membantu mereka membuat api dengan menggesek kayu.
Sejak 4.000 tahun lalu, desa yang berada 50 kilometer dari Kota Yazhou (nama masa lalu Sanya yang berarti negeri selatan, Red) ini, dihuni suku Li dan Miao. Mereka hidup berkelompok menggarap pertanian, menempa perak, membuat tembikar, membuat arak, menganyam bambu dan rotan.
Kejujuran menjadi kata kunci perdagangan di suku ini. Di salah satu pojok desa, ada buah jambu, hasil pertanian ditaruh begitu saja, di dekat buah ada keranjang. Wisatawan boleh mengambil buah dan membayar sendiri, uang pembayaran dimasukkan ke keranjang. Tidak ada penjaga keranjang. Inilah desa kejujuran.
Kala saya dan rombongan berkeliling desa hari Senin (23/9) tadi, tiba di pelataran sebuah rumah. Dipandu tour guide dari Cakrawala, bernama Vivi, dua perjaka yang ikut serta dalam rombongan disertakan dalam sayembara memikat hati gadis Miao. Nama keduanya, adalah Eric Tertius Limanjaya dan Maulana Irvandy.
Syaratnya, kedua jomblo asal Balikpapan harus bisa menjerat hati sang dara idaman yang bersembunyi di rumah adat. Sederhana, caranya cukup berteriak di tabung bambu di depan rumah dengan: “Ooooeeeeeee.” Suara wajib keras dan sepanjang napas.
Putra Pdt. Timotius Limanjaya yang alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta jurusan musik mengungguli Maulana. Entah karena Eric sering meniup seksofon, sehingga suara berteriakannya lantang dan panjang.
Usai sudah sayembara. Emak berpakaian adat dengan masih memamah sirih, pinang dan kapur ke luar rumah dan menyambut sang menantu, si Eric. Sang gadis Miao berwajah ayu mengiringi ibundanya di belakang.
Tanda diterima, Ibu “mertua” mengenakan Eric baju rompi adat Miao warna merah bersulam indah, lalu dengan ramah mempersilakan Eric duduk di kursi kayu di depan rumah adat mereka. Juga meminta putrinya berkulit putih bersanding di pelaminan di samping Eric membuat Eric tersipu, rombongan tertawa dan bersorak.
Timotius dan istri ngunduh mantu gadis Miao ikut ikut bergelak tawa, apalagi tidak menyangka hanya empat hari di Hainan sudah menggelar perkawinan di Desa Yi Tian tanpa mahar dan ongkos sama sekali. “Saya setuju aja,” canda Ny. Timotius. Sorak dan tawa rombongan pecah.
Sorak gaduh makin pecah, saat ibu mertua mempersilakan Eric dan “istri” masuk ke rumah mereka. Walau sejenak berdua di dalam rumah, terjadi kejutan luar biasa. Pipi kiri dan kanan Eric masing-masing penuh dengan lipstik bercap bibir. Waw, Eric mendapat kecupan bibir sang gadis .
Begitu ke luar rumah, Akin Sudharta buru-buru mengucapkan selamat pada Eric disusul yang lain sembari tertawa dan canda. “Enak ya Ric, jadi pengantin lima menit,” kata Akin tertawa terpingkal-pingkal. Buru-buru menjabat tangan Timotius dan istri yang juga tertawa.
“Di dalam ada laki-laki kok, juga ibu si gadis,” kata Eric tersipu malu sambil melap tinta bibir warna merah di pipi dibantu sang ibu yang menyungging senyum tanda sayang pada sang anak.
Kurang lebih satu jam, kami menghabiskan waktu di Desa Ganshili alias desa lembah pinang itu. Usai menyaksikan potret budaya dan gaya hidup Li dan Miao yang mirip Dayak dan Tana Toraja (Tator), kami melihat-hasil hasil kerajinan hiasan perak karya kedua suku yang telah 3.000 tahun menempa perak yang diyakini lebih berharga dari emas itu.
Mereka yang terpikat pada kerajinan perak sebagai lambang kekayaan suku Li dan Miao itu,, bisa membeli dengan harga 30 RMB atau setara Rp66.000 per garam, tinggal menghitung berapa berat perhiasan yang diinginkan.
Di remang petang, di pintu keluar, saatnya kami berpisah dengan suku Li dan Miao. Bila kami datang memasuki pintu gerbang kedatangan menyapa dengan salam dengan mengucap :” modeee” sambil memuji dengan jempol. Di pintu gerbang dan di setiap kali berpisah dengan siapapun warga suku Li dan Miao, sambil melambaikan tangan, kami pun berkata “Babaheeeee…” (yang maknanya sama dengan bay-bay).(***)