Penulis: Munir Asnawie
TINTAKALTIM.COM-Setelah duapuluh empat tahun silam, Senin (29/7) malam, bagian bawah perut posisi kanan hingga tegak luruh ke belakang terasa sakit. Sakitnya tidak terlalu berat, tapi tidak nyaman, apalagi mengganggu tidur. Uh kantuk datang, sakit melilit menggoda, mata yang berat tak bisa dipejamkan. Cukup menyiksa.
Istri dan anak saya membujuk agar pergi ke Unit Gawat Darurat (UGD), agar tahu penyakit apa sih yang menyerang. Saya tetap bandel. Hingga pukul 01.00 dinihari saya menyerah dan pasrah diantar ke UGD Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB).
Dalam pikiran saya berkecamuk dan menduga, ini ulah batu di kantung kemih lagi, seperti yang pernah menyerang duapuluh empat tahun silam. Sakitnya mirip, didahului saat kencing ke luar air kemih yang keruh, kendati tidak separah dahulu.
Persoalan air kencing keruh seperti seseorang yang dehidrasi sudah saya keluhkan sekitar sebulan lalu. Tapi bisa dinetralisir dengan minum air putih hangat yang banyak dan juga rebusan daun kumis kucing dan keji beling. Sakit kambuh usai menunaikan puasa sunah senin saat asupan air menurun.
Dini hari saya berbaring di ranjang UGD rumah sakit RSPB. Pertanyaan dokter jaga seputar yang saya derita, saya sampaikan apa adanya. Injeksi penahan rasa nyeri menembus tangan kanan, rasa hilang berangsur lenyap, inilah pertolongan pertama.
Pemeriksaan kedua, saya diminta kecing di botol kecil. Air urin yang keruh itu diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah ada kaitan dengan kantung kemih, apakah ada benda yang bersarang di sana? Atau lainnya. Hasilnya, dalam air seni terdapat sel darah merah dan darah putih dalam takaran lebih, kemungkinan ada inpeksi, ginjal agak bengkak dan sejumlah lainnya. Dalam kesimpulan awal, batu ginjal. Dokter jaga meminta saya, besok pagi memeriksakan diri ke dokter urologi.
Selasa pagi (30/7) saya penuhi anjuran dokter jaga, tapi terlebih dahulu saya meminta rujukan ke fasilitas kesehatan (paskes) BPJS Kesehatan di klinik Panorama Balikpapan.
Bermodal rujukan dokter umum Klinik Panorama, dr Padyo BP, M.Kes, saya dirujuk ke sejawatnya spesialis urologi RSPB, Dr Eddy Sunarno, Sp.U. Saya diminta berbaring di tempat tidur poli urologi. Pemeriksaan awal sangat standar, ditanya keluhan, ditekan bagian perut paling bawah sebelah kanan yang sakit. Sakitnya memang sudah tak seberapa, karena obat penahan nyeri masih bekerja. Selanjutnya diminta pulang dan meneruskan rawat jalan dua hari sembari meminum obat penahan nyeri yang diberi dokter jaga.
Dua hari berlalu, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi, apakah batu masih ada di buli (kantung kemih). Untuk mengintip posisi batu, saya menjalani pemeriksaan USG oleh Dr Debie Poluan Sp. Rad. Hasilnya belum nampak batu dan sludge.
Lagi, batu harus dikejar sebelum dilakukan tindakan. Di mana sang batu bersarang?Sebesar apa? Kali ini, bagian perut saya difoto roungen. Kali ini, batu tertangkap basah bersarang di buli. Kesimpulan dilakukan tindakan operasi dengan menembak hancur batu pada Senin (5/8).
Pagi, pukul 07.00 saya sudah mendaftar diri, menyelesaikan administrasi di BPJS dan poli urologi, beserta sejumlah persyaratan operasi. Memeriksa darah di laboratorium. Menjawab pertanyaan, apakah ada riwayat tekanan darah tinggi, asma, dan gula darah.
“Negatif, saya punya riwayat jantung saja,” kata saya. Inipun sudah saya selesaikan melalui pemeriksaan EKG ke dokter spesialis jantung, Dr Muhammad Iqbal Sp.Jp. Pada dokter ini saya tiap bulan harus cek jantung. Kebetulan sudah dua minggu saya tak mengkonsumsi aspirin, obat pengencer darah dari dokter spesialis jantung. Kalau masih, maka lima hari lagi tindakan baru bisa dilajukan, agar tak blooding. Berarti aman.
Usai pemeriksaan darah di laboratorium, saya ditemani istri mencari kamar untuk rawat inap. Kamar sudah didapat. Jam 11.00 saya masuk ke kamar rawat inap, ganti baju pasien, pemeriksaan tensi, dan tak berselang lama infus menembus tangan kanan saya. Lalu saya bertukar baju operasi serta topi operasi berwarna hijau yang mirip dipakai dokter dan perawat operasi.
Sebelumnya saya sudah harus puasa sejak pukul 05.00 dini hari sampai menjalani operasi, bahkan sampai kondisi benar-benar fit kembali, baru air dan makanan bisa masuk ke rongga mulut menembus perut.
Ketika dokter Eddy memutuskan harus operasi, saya menerima putusan itu santai saja, terkecuali istri saya, Siti Masitah yang banyak tanya, apakah bagian tubuh saya dibedah? Istri siapa yang tidak galau mendengar suami bakal menjalani operasi. Wajar. Dokter urologi, Eddy menjawab: tidak, cukup dilaser. Plong sudah.
Selama empat hari menjelang operasi, saya berusaha rileks. Hari Sabtu (4/8), saya dan istri masih ikut olahraga on-on bersama Mixed Hash berjalan kaki membelah kawasan Bukit Damai Indah (BDI). Tidak ada celetukan rencana operasi. Suasana canda tawa lepas di komunitas itu menambah rileks pada saya. Yah, seperti biasa, itulah prilaku insan yang gemar olahraga sembari rekreasi.
AQUARIUM URIN
Pukul 13.32, perawat masuk memberitahu, bahwa operasi segera dilakukan. Saya diminta melepas celana, juga celana dalam. Kini tubuh hanya dibalut baju operasi, selimut dan topi operasi warna hijau. Saya berpindah tempat tidur.
Tempat tidur yang baru didorong perawat, istri saya ikut mendorong. Sebelum tempat tidur meninggalkan ruang inap, istri saya mencium kening saya, tangannya mengusap lembut wajah saya. Pandangannya tidak pernah lepas dari saya. Di atas tempat tidur, saya menikmati perjalanan melewati kamar-kamar rawat inap lantai dua RSPB, santai saja. Sesekali saya istighfar dan berdoa, saya mohon kepada Allah agar operasi berjalan normal.
Lalu, tempat tidur berbelok ke kiri, memasuki ruang operasi. Di sini, istri saya berhenti, karena hanya saya dan perawat ruang inap yang boleh masuk. Saya tidak tahu, perasaan apa yang bergelayut di hati istri saya saat menyaksikan kereta yang membawa saya masuk ke ruang operasi. Mungkin panik, iba, waswas, galau. Tapi saya yakin, dia pasti berdoa untuk keselamatan suami yang memberi tiga anak padanya.
Saya diperkenalkan kepada perawat wanita. “Ini ratu ruang operasi pak, tapi bapak santai aja ya,” ujar perawat ruang inap sembari tertawa. Perawat wanita yang bertugas di ruang operasi juga tertawa lepas membalas canda, sembari menutup pintu dan mendorong masuk tempat tidur saya ke ruang dalam operasi.
Tapi, saya tak langsung masuk ke salah satu dari enam ruang operasi. Saya harus menunggu dulu, seperti juga pasien anak-anak yang bakal menjalani operasi. Perawat dan dokter sibuk, hilir mudik masuk ruang operasi. Kadang mereka bercanda.
Usai pasien anak-anak, giliran saya didorong masuk ke ruang operasi nomor dua. Pukul 14.16 saya sudah bergeser tempat tidur ke meja operasi. Rileks, tidak ada rasa takut, gentar, waswas, saya nikmati perjalanan operasi ini dengan istighfar dan doa terbaik kepada Allah. Saya berserah dan berlepas diri atas kehendak-Nya.
Di kiri meja operasi, meja lain dipenuhi peralatan operasi, juga ada layar televisi, saya tidak mengenal stent (alat penghancur batu) serta perangkat lasernya, di meja terdapat lampu operasi, serta sejumlah peralatan lainnya ditata rapi, simpel, dan teratur.
Perawat meminta saja duduk. Spontan saya duduk. “Jangan tergesa-gesa pak,” kata seorang dari lima perawat mengingatkan.
Dokter bius meminta saya memeluk bantal sambil membungkukkan tubuh. Dia memperkenalkan diri sebagai dokter anastesi, sembari tangannya menekan bagian sekitar tulang belakang saya sedikit di atas pinggang. “Maaf, agak sakit ya Pak,” katanya. Saya mengangguk.
Saya nikmati tusukan jarum injeksi di punggung saya. Saya berusaha tidak ingin merasakan sakit apapun, saya mau semua berjalan normal, apa adanya. Tidak sampai satu detik setelah jarum suntik memancarkan cairan bius, kaki terasa kesemutan. Dari pinggang, pangkal paha, sampai kaki memberat. Saya terbius. Ada tiga perawat membantu saya berbaring di meja operasi dan menyangga kepala dengan bantal.
Dokter anastesi masih bekerja memastikan, apakah proses bius berjalan normal. Dia memindahkan benda semacam logam dari bagian dada ke perut di kiri dan kanan tubuh saya, saya diminta membedakan rasa dingin. Di masing-masing bagian yang disentuh logam memang beda rasanya. Agak ke atas lebih dingin dibanding ke arah bawah, yang terbius.
“Siap dok,” kata dokter anastesi kepada dokter urologi. Itulah isyarat, bahwa operasi siap dilakukan.
Di depan saya dipasang kain hijau pembatas agar saya tak bisa menyaksikan, bagaimana dokter memasukkan kateter dari ujung “burung” saya menembus kantung kemih, juga laser yang menembus ujung satu kateter, sementara di ujung satunya terhubung dengan kantung penampung darah dan air kemih melalui pipa kecil. Lengan kiri dibalut alat pengukur tensi, yang kadang mempres lengan saya.
“Bapak bisa saksikan operasi di layar ya,” kata dokter Eddy mempersilakan saya menyaksikan jalannya operasi.
Seketika, layar datar televisi di kiri meja operasi mengantar gambar. Saya palingkan pandangan saya ke sana. Laser entah yang digunakan jenis lateks, silikon atau titanium menelusiri lorong kantung kemih yang mirip balon berwarna pink hingga kemerahan.
“Ini batunya, kita hancurkan ya,” kata dokter Eddy.
“Siap dok, jawab saya,” dengan rileks sembari pandangan saya tidak berpaling dari layar televisi.
Di ujung depan laser, menurut dokter spesialis urologi itu, terdapat alat penghancur batu urin, kerjanya mirip tokoh kartun woody woodpeacher, si belatuk penghancur kayu itu, tugas woody laser bekerja menghancur batu urin.
Dijelaskan Eddy saat sepekan saya melakukan kontrol di ruang urologi, ada dua cara kerja si woody. Pertama, ujung depan si woody menghancur batu disertai hembusan angin, entah dengan tekanan berapa, tapi ini untuk kasus batu yang ringan. Kedua dengan memasang laser di ujung yang mampu menghancur batu dengan kekerasan tinggi, hanya cara ini menimbulkan panas.
“Keduanya punya kelebihan sendiri-sendiri. Untuk laser biasa digunakan titanium,” urai doktek Eddy
Kala operasi pada buli, saya tidak tahu jenis apa yang digunakan, cuma saya menduga ya hembusan angin dengan lateks atau silikon, karena batu yang dihancurkan tidak tergolong besar dan keras.
Sembari merekam gambar, laser terus memburu batu makin ke dalam. Saya menikmati tamasa di akurium kantung kemih mirip fish ball itu. Sampai tiba paling dekat dengan dua lubang yang berwarna agak kehitaman. “Ini ginjal bapak yang ada lubangnya. Agak bengkak, tapi masih aman,” ujar dokter Eddy meyakinkan.
Laser masih maju dan mundur. Terkadang melintas kotoran putih kristal kecil mirip ikan berenang di akuarium di air bening yang tenang, itu menandakan tidak terjadi pendarahan dalam proses operasi. Hanya saja dokter tidak memperlihatkan organ kejantanan pria, prostat saya.
“Di bagian ini agak menyempit, tapi tidak apa-apa kok. Sudah bersih,” kata dokter Eddy tanpa menyebut bagian apa dari organ itu.
Operasi tidak berlangsung lama, yah sekitar tiga menit. Semua beres, semua aman, semua lancar. Ini disampaikan, dokter Eddy pada saya, pertanda operasi bakal berakhir. Seketika tamasa di fish ball urin berakhir, konsentrasi saya kembali pada persiapan pasca operasi. Layar televisi kembali padam. Proses menarik kembali laser berlangsung baik. Katup tempat masuk laser ditutup. Selesai.
Pasca operasi, saya yang masih tergolek di ranjang, masih harus transit dulu di ruang pasca operasi berjajar bersama tiga pasien lainnya. Di kiri paling ujung, terbaring Sunaryo, pasien asal Penajam yang menjalani operasi prostat. Lalu pasien anak-anak, dan di kiri saya seorang ibu rumah tangga yang menjalani operasi batu ginjal.
Di tempat transit ini, kondisi pasien dipantau. Lengan pasien dibalut alat pengukur tensi. Sesekali perawat bertanya kondisi kami, apakah ada perasaan mual, atau lainnya. “Kalau mual, bilang ya,” ujar perawat mengingatkan.
Setelah sekitar tiga puluh menit “parkir” di ruang pasca operasi. Satu demi satu kami dibawa kembali ke ruang rawat inap. Tiba di ruang rawat inap, istri saya menyambut dengan senyum dan tawa. Dia membantu perawat memindahkan saya ke ranjang rawat inap.
Saya tidak berdaya membantu kerja mereka berdua. Pasrah. Dari bagian perut hingga kaki saya terasa kaku, berat dan mati rasa; hanya bagian atas yang masih penuh kesadaran.
Dahaga dan lapar masih harus ditahan dulu, lambung yang ikut terbius tidak menunjukkan ingin diisi dengan minuman dan makanan, yang sejak pukul 05.00 dinihari hingga seluruh rangkaian operasi berakhir pukul 16.46 sore masih berpuasa. Baru pada pukul 20.00 ada isyarat lambung mulai bekerja. Setelah perawat memeriksa, saya dipersilakan minum dan makan.
Semalam suntuk, istri saya dengan kasih sayang membantu menyuapi makan dan minum. Sejak pukul 22.45 kaki sudah bisa digerakkan, bebas dari bius, tapi “burung” saya masih tersambung dengan kateter dan kantung penampung air kemih. Istri saya meringkuk tertidur di sofa didera dingin pendingin udara. Bila terbangun, dia selalu memberi minum, walau tidak saya minta.
Begitu lambung dibanjiri air minum dan cairan infus, beberapa saat kemudian giliran kantung penampung air kemih yang terhubung selang ke buli dipenuhi air kemih, warnanya masih kemerahan pertanda ada cairan darah. Saya minum sebanyak mungkin, tiba pagi hari, kantung penampung air seni terlihat bersih. Sudah tiga kali kantung penampung kemih itu dikuras perawat.
Pada saat melakukan kunjungan, dokter Eddy mengatakan, saya boleh pulang dan kateter bisa dilepas hari itu. Benar, pukul 09.39, kateter dicabut dari “burung” saya. Oh, lega. Dan saya meninggalkan rumah sakit usai menunaikan salat zuhur di masjid RSPB. ***