TINTAKALTIM.COM-Saat di Jogjakarta, saya tak hanya makan makanan khas daerah istimewa itu yakni gudeg. Tetapi, ada jajanan pasar yang sangat punya legenda (legend). Itu adalah lupis.
Namanya Lupis Mbah Satinem. Awalnya dari info rekan saya Direktur Eksekutif Kadin Balikpapan Drs Rikmo Kuswanto MSi. Ia mendapat pesan dari sang anak agar mampir makan lupis yang terkenal jika ke Jogjakarta. Anaknya Yuli, yang suaminya bertugas di Polda Kaltim dan jika ke Jogja kerap mencicipi lupis legend itu.

“Mas ada lupis terkenal di Jogjakarta. Bahkan sampai antre kalau beli. Bukanya mulai pukul 06.00 Wita. Anak saya beri informasi. Ayo kita coba,” kata Rikmo meyakinkan saya.
Sebenarnya kami bertiga ke Jogjakarta. Rekan satunya adalah H Jailani, komisioner Baznas Balikpapan. Ia juga melakukan orientasi ke sejumlah tokoh-tokoh agama di Jogjakarta, karena ia pun pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Balikpapan. Sekaligus, bertemu sang istri yang kepsek di sekolah negeri Balikpapan dan lagi bimbingan teknis (bimtek) di Jogjakarta.

Esoknya, usai salat Subuh, kami bergegas untuk menghampiri tempat Mbah Satinem. Jalan kaki, sangat dekat dengan hotel tempat kami menginap. Benar, ternyata antre. Kami ke Jogjakarta karena ada pelatihan jurnalistik khusus menghadapi Pemilu 2024. Itu digelar pesertanya para owner media. Rikmo salahsatu direktur media online dan owner Bravo Manajemen yang handle aktivitas event organizer (EO).

Tempat jualan Mbah Satinem sederhana. Ia berjualan bersama cucunya Arif. Lokasinya di Jalan Bumijo Gowongan sekitar 500 meter sebelah barat dari Tugu Jogjakarta di sudut jalan.

Sejak pukul 06.00 Wita, gelaran Mbah Satinem sudah dipenuhi pembeli. Sehingga, pembeli pun harus antre. Bahkan, mereka rata-rata memegang nomor antrean. Mbah Satinem asyik melayani pembeli, jualannya beragam ada lupis, gatot, cenil dan tiwul. Beli boleh campur dan tidak. Harganya pun murah, hanya Rp10 ribu satu porsi.
Tidak ada semacam lapak khusus tempat berjualan Mbah Satinem. Juga plang nama jualan lupis. Ia menggelar jualan di deretan ruko yang belum buka. Tetapi, terlihat pembeli mulai berdatangan kendati Mbah Satinem yang berusia 78 tahun itu belum datang. Kalau agak siangan datang, tentu habis.
Saat itu, saya melihat Mbah Satinem melayani pembeli. Tangan keriputnya menunjukkan ia sudah sangat sepuh. Tetapi, ia begitu semangat duduk di kursi kayu kecil atau dingklik melayani pembeli. Sementara sang cucu membantu melipatkan daun sebagai wadah agar Mbah Satinem mudah melayani pembeli.
Di sisi lain, terlihat tumpukan nomor antrean yang disiapkan. Sementara lupis yang belum dipotong ditumpuk dalam jumlah banyak di suatu tempat. Itu dibawa dari rumah dalam bentuk ‘bundelan’. Nanti dipotong menggunakan benang.

Mbah Satinem dibantu cucunya Arif harus menggunakan nomor antrean jika antrean panjang. Dari 1-50 dan jika sudah urutan 50, urutannya kembali ke nomor satu. Saya mendapat nomor urut 50. Mbah Satinem melayani satu per satu sesuai antrean.
Mengapa jadi daya tarik lupisnya? Itu karena Mbah Satinem menggunakan gula aren yang asli tanpa pengawet atau campuran. Di situlah khasiat utamanya untuk menarik pembeli yang turun-menurun dari orangtuanya.
“Kami tidak boleh mengubah adonan bumbu lupis. Harus asli gulanya. Karena itu yang membuat rasa lupisnya enak dan lezat,” kata Arif kepada media ini sembari melayani satu per satu pembeli.
Makanya cita rasa lupis Mbah Satinem tak berubah dari puluhan tahun lalu. Apalagi kata Arif, masaknya gunakan kompor kayu. Cara memasaknya pun harus sabar dan ini sudah dilakukan sekitar 60 tahun silam.
Secara cita rasa, lupis itu rasanya merata. Termasuk di Kota Balikpapan kawasan Gunung Malang. Tapi lupis Mbah Satinem selain punya brand dan legend, juga dibantu lewat pola pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth). Sehingga, ketika mendengar cerita Lupis Mbah Satinem siapapun akan penasaran termasuk saya dan Rikmo. “Rasanya sebenarnya hampir sama, manis dan lezat. Tapi, karena ini legend kita buru,” kata Rikmo.
Lupis Mbah Satinem bukan hanya warga biasa pembelinya. Ternyata, juga jadi langganan mantan Presiden Alm Soeharto. Ia kerap membeli lewat sang ajudan. Demikian pula Sultan Jogjakarta, senang lupis Mbah Satinem yang memesan pun lewat ajudan.
Anda pemburu kuliner alias foodies dan sudah menikmati kuliner di Jogjakarta? Belum klop jika tak mencicipi Lupis Mbah Satinem. Ayo buruan.
MASJID GEDHE
Selain menikmati kuliner khas Jogja, saya, Rikmo dan Jailani pun menikmati public space Jogjakarta di Malioboro. Sebenarnya bagi Jailani, bukan hal baru. Karena, ia bolak-balik Jogjakarta lantaran istri dan anak-anaknya kuliah di Kota Gudeg itu.

Sehingga, Balikpapan-Jogjakarta itu jadi semacam traveler bagi Jailani dan istri. Tapi, karena kita ingin memanfaatkan Jogjakarta lewat style berbeda, maka sejumlah tempat dikunjungi termasuk kawasan Malioboro sembari menikmati angkringan dan kopi joss.

Kita sempat juga salat jama-qasar di Masjid Gedhe Kauman dekat keraton. Ini masjid dibangun sejak 250 tahun lalu. Masjidnya dingin kendati tanpa AC. Gaya arsitektur masjidnya pun seolah mewarisi Masjid Demak, di luar ada 4 pilar dan kita mengabadikan foto-foto di masjid ini.
Saat salat jama-qasar Zuhur-Ashar, M Jailani bertemu pengunjung dari Sumatera Barat. Kebetulan juga bapak itu menghadiri wisuda sang anak di Undip Semarang tapi mampir Jogja. Obrolan terjadi, ternyata jamaah dari Padang itu bekerja di Kanwil Kemenag, dan obrolan pun berlangsung hingga kita pamit pulang.
“Kita foto dulu, supaya ada dokumentasi. Mumpung di Jogja,” ajak H Jailani. Ayo cari momen tepat di depan Masjid Gedhe,” ajak Jailani. Sesi foto dilakukan. Dan, silaturahmi sesaat itu pun berjalan. “Assalamualaikum,” kata Jailani, ucapan salam itu memisahkan kita dengan tamu dari Padang tadi. (gt)