TEMUAN ribuan gambar cadas (rock art) di pedalaman Kalimantan Timur menarik minat para peneliti untuk melakukan kajian sejak 28 tahun silam. Sudah sejak lama dinding-dinding ceruk dan gua di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat itu diketahui menyimpan gambar purba, seperti stensil tangan manusia, hewan, simbol-simbol abstrak, dan motif-motif yang saling berhubungan.
Dalam penelitian termutakhir diketahui kawasan itu menyimpan gambar cadas tertua di dunia. Penelitian ini dilakukan di enam lokasi gua, yaitu Liang Jeriji Saleh, Liang Ham, Liang Karim, Liang Tewet, Liang Banteng, dan Liang Sara.
Dengan metode analisis penanggalan U-series Geochemistry terhadap sampel di Liang Jeriji Saleh diperoleh usia 40.000 tahun yang lalu. Sampel ini berupa gambar figur hewan yang diperkirakan banteng liar. Sementara gambar negatif tangan berusia 37.000 tahun yang lalu.
Sebelumnya, Puslit Arkenas dan Griffith University mengungkap gambar cadas di kawasan pedesaan Maros, Sulawesi Selatan, berusia 39.900 tahun yang lalu.
“Temuan ini (di Kalimantan Timur, red.) penting, karena mengungkap rock art tidak hanya berhenti di Maros. Namun juga ada di Kalimantan, kemudian di Sumatra (Gua Harimau, red.),” kata Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam konferensi pers “Inovasi Leluhur sebagai Penguat Karakter Bangsa: Pembuktia Gambar Cadas Tertua di Dunia”, di Kemendikbud, Jakarta, pada akhir 2018.
Menurut Pindi, gambar cadas yang ditemukan di kawasan Sangkulirang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Hal yang menarik di antaranya adalah evolusi kreativitas masyarakat pendukung gua.
Tiga fase gambar cadas
Gambar cadas di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki tiga fase kronologis. Gaya tertua menunjukkan usia 40.000 tahun yang lalu. Cirinya adalah figur binatang berwarna oranye kemerah-merahan yang sangat besar.
Fase kedua biasanya diwakili stensil tangan. Gambar tangan sering diisi dengan motif titik atau garis yang membentuk gambar pohon. Ini mungkin merupakan simbol hubungan kekeluargaan. Terkadang stensil tangan warna oranye kemerahan yang lebih tua tampak dicat ulang dengan cat berwarna murbei dan dimasukkan ke dalam motif pohon.
Tahap akhir, usia 4.000 tahun yang lalu. Cirinya berbentuk antropomorfik, kapal, dan motif geometris. Biasanya gambar-gambar itu berwarna hitam.
Lukisan dinding gua di Sangkulirang-Mangkalihat juga menunjukkan kondisi ekosistem dan kultur pada masanya. Misalnya, ada penggambaran trenggiling raksasa yang telah punah 32.000 tahun yang lalu. Ada juga penggambaran hewan sejenis tapir yang punah sekira 6.000 tahun lalu.
Ada juga lukisan tombak. Padahal, senjata ini biasanya dipakai di daerah savana. “Tombaknya beda dengan yang dipakai suku-suku sekarang, ini teknologi ketika banyak semak, jadi mereka lari mengikuti binatang, sudah dekat baru ditombak, kalau dulu berbeda,” jelas Pindi.
Dari segi penggambaran, Pindi membagi dua jenis gambar berdasarkan warna merah dan ungu. Gambar berwarna merah memperlihatkan bentuk hewan atau tumbuhan sebagaimana aslinya. Sementara warna ungu, dia menyebutnya sebagai bentuk adisatwa. “Maksudnya semacam binatang jadi-jadian, kalau tumbuhan, ya tumbuhan aneh, jadi-jadian mungkin istilahnya,” kata Pindi.
Dari bentuknya, boleh jadi sudah ada pergeseran tingkatan budaya, dari Paleolitik atau perburuan awal ke tingkat lanjut. “Binatang jadi-jadian biasanya budaya Neolitik, tapi belum punya bukti,” tambahnya.
Sementara Pindi melihat ada kemungkinan kalau manusia pendukung gambar cadas telah menempatkan gambar-gambar tertentu sesuai dengan posisinya. Misalnya, gambar binatang adisatwa seakan itu sengaja diletakkan di atas garis mata.
“Ini menariknya. Gambar cadas punya cara lihat, ini terkait dengan psikologis sebagaimana yang kini dipelajari dalam desain interior, misalnya lafadz Allah biasanya akan diletakannya di atas,” jelasnya.
Bukan Asal Gambar
Secara umum, Pindi menjelaskan, kecenderungan para pembuat gambar cadas, baik dari masa Paleolitik, Mesolitik, maupun Neolitik, sangat senang dengan kehadiran cahaya bulan dan matahari. Hanya dua persen gambar cadas yang ditemukan di lingkungan yang gelap.
“Jadi, ini keputusan desain yang diperhitungkan matang. Bukan sekadar grafiti,” kata Pindi.
Namun, pernyataannya itu dengan catatan, tak ada jaminan, kalau kondisi yang ditemukan pada masa kini sama seperti masa lalu. Pasalnya, di Indonesia, kondisi gua yang gelap biasanya lembab. Ini memungkinkan gambar-gambar dinding gua tak mampu bertahan lama.
Sementara, ada beberapa indikator bagi sebuah gua atau ceruk yang mungkin menyimpan gambar di dindingnya. Salah satunya adalah mulut gua yang luas. Pun bentuk lubang ceruk atau gua biasanya juga berpengaruh, karena terkait dengan faktor angin.
Indikator lainnya adalah morfologi lantai gua yang halus. Kata Pindi, morfologi lantai tak banyak berubah dari masa ke masa. Meski ketebalan lapisan gua berubah, morfologinya tetap akan mengikuti lapisan yang lebih tua.
“Dinding yang bersih biasanya juga, tapi belum tentu dinding 40 ribu tahun yang lalu begitu juga. Lalu ada aroma. Ini subjektif, siapa tahu ribuan tahun lalu tak begitu,” lanjutnya. (historia)