PENULIS: SUGITO *)
Pernah dengar kalimat service excellence. Atau Anda merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sangat baik? Setiap manusia hidup di dunia pasti pernah mendapatkan proses pelayanan. Tentu dong, inginnya baik dan nggak berbelit.
Suatu ketika di sudut warung kopi sedang berbincang sejumlah pengusaha. Namanya pengusaha tentu orientasinya sama semua yakni, kepastian. Sebab, bisnis itu ya harus pasti. Sehingga, kalau pengusaha kumpul terus nyinyir pelayanan, jangan diasumsikan mereka tidak suka terhadap institusi yang memberi pelayanan.
Semua itu dibicarakan karena kepastian pelayanan punya korelasi terhadap kepastian bisnis dan menjauhkan diri dari beaya tinggi (high cost) yang terkadang bikin puyeng pengusaha. Duit banyak keluar tapi proses perizinan belum juga kelar.
Itulah birokrasi Indonesia. Berbelit-belit, termasuk di Kaltim, ini justru ‘memancing’ pengusaha untuk terpaksa melakukan suap karena terbentur izin yang lama dan selalu dijanji-janji. Selain berbelit-belit birokrasinya, pengusaha untuk mendapatkan proses perizinan dari dinas atau lembaga terkait terkadang harus melakukan ‘pengeluaran lebih’. Lalu tuntaskah izin dan langsung berada di tangan pengusaha? Ternyata izin belum juga keluar dari instansi terkait.
Dari perbincangan pengusaha luar daerah sebutlah berinisial AN yang mengurus perizinan di Balikpapan kepada Tintakaltim.com, ternyata ada dua kepastian yang sampai sekarang belum jelas. Yakni, kepastian beaya dan kepastian waktu. Padahal, yang diperlukan pengusaha atau kalangan pebisnis adalah kepastian kapan selesai perizinan tersebut.
“Saya sudah nyaris hampir 1 tahun mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tapi belum juga selesai. Padahal, secara syarat dianggap sudah aman. Beaya pelicin juga sudah,” keluhnya.
Bagi pengusaha, lambatnya izin itu biasanya hanya bisa dilakukan dengan menggerutu. Karena mau ‘berontak’ uang sudah terlanjur keluar. Pengusaha biasanya harus melakukan pola permainan aman (safety player) dengan cara mencari jalan ‘harmonisasi’ dengan pemberi izin. Ini terjadi karena kalau diungkap, maka antara penerima dan pemberi suap sama-sama melanggar UU Gratifikasi. Selain itu, bukti-bukti itu pun tidak akan pernah ada sebab proses penyerahannya ‘di bawah tangan’.
Inilah penyakit birokrasi. Tentu ini harus diberantas sebab selalu dialami oleh publik khususnya kalangan pengusaha. Karena penyakit pelayanan birokrasi dimaksud seperti pungli, berbelit-belit, hampir terjadi di semua institusi pelayanan publik.
Padahal, pelayanan publik yang prima atau service excellence itu amanat konstitusi yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat boleh mengawasi dan pemberi pelayanan tidak boleh mempersulit.
Sebenarnya, ada standar pelayanan publik itu. Menurut penulis cukup meletakkan dasar-dasar 3 kepastian. Kepastian syarat, kepastian waktu dan kepastian beaya. Adakah institusi pelayanan publik yang melakukan? Dari investigasi penulis, Kantor Imigrasi yang biasa mengurus paspor sudah mempratekkannya.
Jadi syarat, beaya cara membuat pospor pun pasti. Ada tahapan membuat paspor. Misalnya paspor baru maka mendaftar antrean online. Di ponsel Android ada aplikasi ‘Antrean Paspor’ dengan download aplikasinya lewat playstore. Di aplikasi ini tinggal memilih langkah sampai disetujui baru datang ke kantor imigrasi. Jam berapa, hari apa Anda akan mengurus paspor.
Kepastian beayanya, pembayaran pembuatan paspor dilakukan dengan cara transfer ke nomor rekening yang diberikan pihak imigrasi. Beayanya jelas, kalau paspor baru 48 halaman, maka total beaya Rp355 ribu. Lalu kapan kepastian waktu selesai? Oh ternyata hanya 3 hari setelah pembayaran dilakukan. Dan paspor jadi. Inilah yang disebut service excellence itu.
Mengapa pelayanan publik lain tidak dapat menerapkan 3 kepastian di atas? Memang kadang di Indonesia perizinan justru menjadi penghambat utama masuknya investasi. Birokrasinya yang terlalu panjang, waktu yang tidak sedikit, beaya dan ditambah banyaknya pungutan tak resmi membuat investor batal dan enggan menginvestasikan di suatu daerah.
Sekarang ini, memang sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau disebut dengan Online Single Submission (OSS). Memang OSS bisa jadi platform dalam mengurus perizinan termasuk di Kaltim. Proses perizinan yang dilaksanakan OSS akan mengeluarkan Nomor Induk Berusaha (NIB), pengusaha bisa mendapatkan izin operasional dan izin komersil.
Tapi, meskipun pemerintah sudah meluncurkan OSS, menurut Ketua Kadin Balikpapan Yaser Arafat SHI MBA, system ini masih belum diaplikasikan dengan sempurna. “Masih perlu sosialisasi yang masif kepada seluruh pelaku usaha dan memastikan bahwa sistem ini dapat dengan mudah digunakan oleh siapapun. Kadin pun siap mendukung sosialisasi,” ungkapnya.
OSS ini pun sempat disinggung dalam proses pelayanan publik bidang transportasi pada acara bimbingan teknis (bimtek) di Samarinda 24-26 Juli 2019. Karena akan jadi persyaratan service excellence secara online namanya Sistem Perizinan Online Angkutan Darat dan Multimoda (SPIONAM). “Jadi pengusaha tidak harus bolak-balik ke Kemenhub. Hanya sekali saja saat verifikasi administrasi. Inilah kepastian itu,” kata salah satu pejabat bidang perizinan Direktorat Angkutan Jalan Ditjen Hubungan Darat Erlina Indriasari.
Justru ia terkejut. Masih ada semacam pungli dalam perizinan transportasi. Izin yang hanya Rp5 juta sampai pengusaha keluar Rp90 juta. Itu pun belum selesai. “Ini karena dimanfaatkan oleh calo. Nah, nanti eranya elektronik jadi gunakan SPIONAM kalau mau urus izin transportasi,” ungkapnya.
Tidak mudah untuk menuju pelayanan prima atau service excellence. Penulis pernah berbincang dengan Founder Markplus Hermawan Kertajaya yang juga dikenal pakar marketing Indonesia. Ia pernah menyampaikan dalam suatu event penyerahan Balikpapan Marketing Champions 2016, di mana salah satunya yang menerima adalah penulis.
Disebutnya, kalau seorang pelanggan puas, dia akan menyebarkan kepuasan itu kepada sepuluh orang lainnya. Praktis, orang-orang yang dapat info tadi ingin mencoba. Hanya saja kata Hermawan, ketika pelanggan dikecewakan akan menyebarkan kekecewaan itu kepada seribu orang lain. Nah, kalau penyakit pelayanan publik ini masih ada dengan birokrasi yang berbelit, tentu masyarakat akan membuat un-trustterhadap institusi bersangkutan.
Menurut orang pintar (bukan dukun lho), service excellence melayani tak hanya dengan ramah tapi juga harus tepat dan cepat. Bahkan di luar negeri, pelanggan itu dijadikan mitra, karena pelayanan prima juga tergantung dari pelanggan.
Ayo, berbenah terhadap pelayanan publik. Birokrasi berbelit, itu adalah ‘penyakit akut’ yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Sebab, jika pelayanan itu ada di pemerintah, maka sekarang sudah ada tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) .
Dalam semua proses pelayanan publik, sekarang ini ada kata yang sangat populer yakni Zona. Ada Zona Integritas yang telah menjalankan reformasi birokrasi khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Kalau di dunia pendidikan ada Zonasi, kalau di dunia lalu-lintas ada Zona Keselamatan. Nah sekarang yang perlu digelorakan dalam meningkatkan pelayanan publik adalah Zona Kepastian. Tentu implementasi 3 Kepastian (Kepastian Syarat, Kepastian Beaya dan Kepastian Waktu) yang tujuannya pelayanan publik tidak berbelit-belit yang pada akhirnya pengusaha dan masyarakat lainnya pun tidak menjerit.**
*) Direktur Utama Tinta Kaltim.Com, Wakil Ketua Lembaga Yayasan Konsumen Mandiri, Ketua Kompartemen Hub Antar Lembaga dan Pemerintahan Kadin Balikpapan