Oleh: *)Sugito
TINTAKALTIM.COM-“Harga daging naik. Cabe juga”. Itu suara ibu-ibu yang biasa ke pasar. Selalu terdengar. Jelang Ramadan, apalagi Idul Fitri selalu harga barang naik? Jawabnya, ‘telinga rasanya bosan’, karena disebut inflasi, barang langka dan yang ekstrem yakni faktor cuaca.
Hukum ekonomi sedunia sama. Ada penawaran dan permintaan atau supply and demand. Dan pada Ramadan serta jelang Idul Fitri, terjadi masif konsumsi. Untuk kebutuhan buka, sahur maupun lebaran. Tapi, harusnya ini dikendalikan. Jauh-jauh hari, ada evaluasi, ada monitoring pasar.
Disebut banyak faktor harga naik. Yang banyak diperbincangkan adalah permainan. Orang menilai, spekulan, makelar bahkan ini ada ‘bandarnya’. Karena kebutuhan masyarakat banyak atau permintaan tadi, pemainnya makin banyak. Tapi sampai kapan?
Jika mendengar klaim pemerintah, selalu aman, melihat di lapangan berbeda. Konsumen hanya bisa menggerutu. Sebab, seperti mendapat informasi pemberi harapan palsu alias ‘PHP’. Sebenarnya pemerintah ada di mana? Harusnya memiliki tugas melakukan ketersediaan, stabilitas dan kepastian harga. Dibuat ada harga acuan dari petani hingga konsumen. Jauh-jauh hari.
Misalnya, Ramadan dan Idul Fitri bulan Mei-Juni, setidaknya 3 bulan sebelumnya sudah dilakukan pembahasan. Ada rapat koordinasi, undang produsen, undang asosiasi, adakan media briefing lalu tetapkan sejumlah kebutuhan pokok di pasaran dengan cara menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Sering memang, pedagang disalahkan. Menurut penulis, jangan melulu menyalahkan mereka. Naiknya permintaan atau demand itu terkadang tak diantisipasi dengan supply barang di lapangan. Apa yang terjadi, barang langka, tidak cukup, ya harga pasti meningkat. Pedagang, jika stock tipis, pasti menaikan harga? Karena, itu hukum pasar.
Siapa aktor dan bagaimana mengurai persoalannya? Pemerintah harusnya jauh-jauh hari mengundang produsen dan pedagang. Dipetakan. Kalau perlu buat tim ‘injeksi operasi pasar’. Dan, pemerintah punya kewenangan untuk menetapkan harga tertinggi. Dipatok harga batas atasnya. Jangan sampai naiknya ‘gila-gilaan’.

Harga melonjak di pasar itu, sejujurnya karena suplai tak cukup. Sehingga, sering terjadi ‘pasar gelap’ dan harganya selangit. Konsumen, ‘terpaksa’ karena sedang perlu barang itu. Dan, jika Anda ke pasar selalu begitu. Pertanyaan sederhana? Di mana pengawasan, di mana pemantauan, di mana tim pengendalian harganya atau yang disebut Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID)?
Penulis sering survey harga di sejumlah pasar. Karena, nyaris setiap pagi ke pasar bersama istri. Ada juga sih sample yang disurvei TPID, tapi setelah itu tidak masif. Sehingga, kebutuhan lainnya tak terkontrol. Akhirnya, naiknya pun ikut masif mengikuti kebutuhan.
Contoh di pasar, awalnya sekilo cabe merah Rp35 ribu. Tiba-tiba bisa melejit jadi Rp50 ribu. Apalagi cabe, ada perantara rantai distribusinya. Bisa jadi sampai 10 mata rantai mengambil keuntungan. Kalau satu mata rantai saja mengambil margin Rp2 ribu, bagaimana kalau sampai 10 mata rantai? Nah, harus diputus mata rantainya dari petani hingga konsumen. Supaya, tidak terjadi akumulasi margin yang mengakibatkan harga tinggi.
Penulis berandai-andai, kalau jadi pejabat ya sebutlah bupati, walikota ataupun gubernur yang pertama kali dilakukan sebelum Ramadan, adalah langkah koordinasi. 5 bulan sebelumnya melakukan stok kebutuhan pasar. Ya mengundang produsen: Kebutuhan penting yang dibutuhkan konsumen menjadi prioritas seperti stok daging (lewat persiapan sapi sebanyak-banyaknya), stok tepung, stok gula pasir dan lainnya yang ‘tahan lama’ dan pasti dibutuhkan.
Lalu, cabe dan bawang terus dipantau. Seperti ditetapkan tadi kalaupun naik jangan tinggi-tinggi. Jangan memanfaatkan aji mumpung Ramadan dan jelang Idul Fitri. Kalau naik sampai 25 sampai 40 persen, mungkin konsumen tak menggerutu kadang bisa 150 sampai 200 persen? Menyiksa konsumen ini. Terus apa langkah pemerintah, padahal mengetahui hal ini?
Informasi harga harusnya rutin. Harga cabai, harga bawang dan daging serta lainnya berapa. Karena informasi harga dapat dijadikan acuan untuk tidak mempermainkan harga atau permainan kartel. Jika ada yang melanggar, pemerintah dapat tindak. Juga melakukan survei ke sejumlah gudang-gudang pangan.
Di era Presiden Soeharto, ada kabinetnya yakni Menteri Penerangan (Menpan) Harmoko. Seminggu dua kali ‘cuap-cuap’ di radio dan televisi menjelaskan harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasar. Masyarakat jadi mengetahui, ketika ada harga di pasar yang melonjak sampai 100 persen, pemerintah bersikap.
Dulu itu informasi tertutup, tapi harga sembako diumumkan secara terbuka, transparan dan konsiten. Transparansi harga membuat pasar menjadi stabil, sebab pedagang tak bisa berbuat sseenaknya. Harga sembako mudah didapatkan, tetapi sekarang informasi semakin banyak tapi banyak juga berisi hoax.
Padahal, sekarang sudah ada Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 tahun 2008. Dijelaskan, dan semacam ‘garis tebal’ bahwa hak publik untuk memperoleh informasi dan merupakan hak asasi manusia. Tapi, mengapa sekarang terutup informasi harga-harga di pasar?
Padahal, menurut penulis informasi harga itu merupakan upaya untuk mencegah adanya permainan harga pangan di pasar dan mendorong terjadinya lonjakan harga serta permainan para kartel.
Kuncinya, stok kebutuhan pasar. Supply harus maksimal. Stok bahan-bahan yang dibutuhkan masyarakat: stok daging, stok tepung, stok gula pasir, stok lainnya. Karena, jika stoknya aman, praktis harganya pun aman.
Dan petugas pengawasan sering-sering turun ke pasar melakukan pengawasan harga. Ini namanya ‘intervensi pasar’ untuk menenangkan secara psikologi pasar. Kalau perlu ada koperasi atau toko-toko yang dipersiapkan untuk membeli hasil pertanian oleh pemerintah. Sehingga, ketika di pasar mengalami kenaikan harga, maka intervensi pasar dapat menurunkan harga.
Terakhir, paling penting bagaimana mengurai adanya kartel? Tentu, biasanya mereka terdiri dari gabungan beberapa produsen independen yang berusaha untuk menguasai pasar dengan cara memainkan harga dan menekan distribusi. Namanya: Kartel Pangan? Karena kerjanya seolah jadi mafia memainkan harga, maka pemerintah harus bentuk satuan tugas (satgas) pangan.
Di dalam satgas pangan, sama seperti dibentuknya gugus tugas pencegahan covid-19. Ada TNI, Polri, Bank Indonesia, institusi perdagangan, Dinas Pasar, LSM, relawan dan lainnya. Insya Allah semua dapat diatasi. Spiritnya adalah: Serius dan berkelanjutan. **
*) Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen dan Pengurus Kadin Balikpapan.