Catatan: Sugito SH *)
TINTAKALTIM.COM-Korlantas Polri punya program baru. Namanya ‘KaPeKa’. Dibaca sepintas seperti lembaga yudikatif KPK. Tapi, ini akronim Kampus Pelopor Keselamatan. Aktivitasnya masuk kampus. Mengedukasi mahasiswa untuk jadi pelopor keselamatan berlalu-lintas.
Pelopor itu ya perintis. Atau teladan pemberi contoh positif. Saya memberi apresiasi Korlantas Polri. Apalagi gerakannya masuk Kaltim. Apresiasi karena saya sering mendukung dan menjadi moderator acara-acara bersifat edukasi juga membangun brand awareness masyarakat khususnya yang dilakukan Ditlantas Polda Kaltim. Sehingga, program ini sangat mendidik.
Mendidik karena, kecelakaan di jalan diawali ketidakpatuhan pengguna jalan terkait aturan lalu-lintas. Sehingga, edukasinya harus berkelanjutan (sustainable). Tak boleh berhenti, karena nawaitu tulusnya ingin membentuk karakter sejak usia dini.
‘KaPeKa’ adalah format event. Dan institusi polri tak pernah berhenti memberi edukasi yang programnya pun linier dengan usia. Contoh, ada goes to school, goes to campus. Sampai membina anak-anak usia dini patuh berlalu-lintas dengan menciptakan ‘polisi cilik’. Tujuannya satu: sadar dan berubah mindset atau pola pikirnya serta budayanya saat berkendara di jalan.
Polisi tak bisa menyelesaikan persoalan lalu-lintas sendiri. Perlu dukungan semua pihak. Karena problematika lalu-lintas bukan ‘masalah kecil’. Sehingga, tidak bisa selalu menyalahkan kepolisian. Karena, jika mengacu pada rencana umum nasional keselamatan (RUNK), yang bertanggungjawab kaitan transportasi itu ada 5 pilar (Bappenas, Kemenhub, Kementerian PU, Kepolisian dan Jasa Raharja pada pasca kecelakaan).
Tapi sekarang, Jasa Raharja pun mulai mengubah programnya. Tak hanya melayani pasca kecelakaan. Institusi BUMN ini sudah membuat program preventif atau pencegahan yang sinergi dengan kepolisian. Makanya, sering memasang rambu serta edukasi lalin lainnya.
KaPeKa bukan hanya program. Jika didasari punya makna implisit untuk touch your heart anak muda. Sehingga, kampuslah yang ‘digedor’ untuk jadi pelopor. Karena, mahasiswa itu masuk usia muda produktif.
Tentu, saya menambahkan kata ‘muda’ sisi usia produktif. Karena, jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), usia produktif itu dari 19-56 tahun bahkan ada yang menyebut 60 tahun. Karena, ada yang usia 57 tahun pun masih produktif dan menghasilkan karya positif.
Lalu kenapa pelajar, mahasiswa jadi target edukasi? Karena, polisi bicara data. Kecelakaan lalu-lintas di jalan mayoritas usia produktif itu anak muda atau masuk generasi Z (netizen). Tapi, ada pula yang menyebutnya generasi Y atau milenial karena rentang usianya dari 23-26 tahun.
Hanya, pekerjaan polisi makin pusing. Belum mengurusi budaya emak-emak yang menggunakan kendaraan matic ‘asal gas’. Sehingga, tidak memahami rambu, alhasil sign kiri tapi belok kanan, akhirnya kecelakaan. Ditambah, muncul lagi generasi Alpha yang usianya berkisar 10 tahun sudah menggunakan kendaraan roda dua karena support orangtua.
Saya ingin sharing. Sudah 4 kali ke Singapura. Inilah negara yang disebut penuh keteraturan. Di sana ada denda melejit. Kaum yang masuk ‘majelis suro’ alias majelis suka rokok saja takut. Sebab, jika merokok di sembarang tempat kena denda 1.000 dolar (konversi Rp11 juta). Sehingga, di sepanjang Orchard Road ada asbak untuk merokok. Berhenti sejenak, lalu jalan kembali. Tapi sekarang kabarnya tak boleh lagi merokok di tempat ini.
Merokok sembarangan, langsung kerekam kamera. Denda berjalan dan di kamera itu ada alat seperti milik Polri yang dipasang pada CCTV tilang elektronik atau Electornic Traffic Law Enforcement (ETLE) yakni ada face recognition atau alat bisa merekam wajah. Maka, perokok di Singapura jadi ‘warga kelas dua’. Seperti juga di Bandara Changi mencari smoking area pun jauh sekali. Maka, jadilah labelisasi Singapura itu ‘neraka’ bagi perokok.
Itu perokok. Begitu pula aturan lalu-lintas. Saya sempat ingin pulang ke hotel. Jalanan sepi. Tapi, traveler yang melintas di zebra cross tetap patuh, menunggu traffic light sampai hijau. Memang tak bisa apple to apple (dibandingkan) dengan Indonesia, karena roda dua di Singapura sedikit. Tapi, apa salahnya dijadikan tolok ukur (benchmark) dan dicontoh yang baik-baik.
Patuh aturan lalin di Singapura ada lagi. Jika lampu kuning, pengguna jalannya siap-siap berhenti dari jarak jauh. Tapi, di Indonesia berbeda, justru lampu kuning ‘gas poll’. Di Singapura, bila lampu kuning gagal berhenti, siap-siap terkena denda tinggi, karena kamera pengintainya banyak.
Korlantas Polri selalu sinergi dengan instituasi lainnya menyelesaikan problematika transportasi dan menekan angka kecelakaan agar nihil (zero accident). Misalnya dengan Kemenhub. Instituasi yang masuk pilar keselamatan ini pun punya program pembentukan karakter. Namanya, Sadar Lalu Lintas Usia Dini (Salud) yang sejak era Dirjen Perhubungan Darat dipegang Budi Setyadi berjalan masif. Sekarang diteruskan Dirjen baru Hendro Sugiatno dari institusi kepolisian berbintang dua.
KaPeKa jadi sarana mahasiswa berkreasi. Mereka diajak ikut menjadi insan solutif, kendati kritik konstruktif bagi instituasi kepolisian diperlukan, makanya keluar program ‘Jumat Curhat’ yang di Kaltim pun berjalan sangat maksimal. Ini program polisi minta dikritik bukan dipuji.
Memang, mahasiswa itu terikat dengan tri dharma perguruan tinggi, salahsatunya pengabdian kepada masyarakat serta penelitian. Sikapnya kritis. Itu tak masalah. Hanya, tri dharma itu salahsatunya adalah pendidikan dan pengajaran. Jadi mahasiswa itu diupayakan juga jadi contoh atau pelopor mendidik dan mengajar. Juga mengajarkan tertib berlalu-lintas.
Sebenarnya, polisi lalin itu sangat bijaksana (wise). Padahal, mereka adalah pemilik regulasi law enforcement atau penindakan hukum. Jika ingin saklek itu amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU itu, jika sudah dilembarnegarakan orang yang tidak tahu dianggap tahu.
Nah, UU Lalin itu sudah sejak 2009, berarti sekarang tahun 2023 sudah 14 tahun berlaku. Sehingga, kalau ada pengendara melanggar patut ditilang. Karena, amanat UU tadi. Tapi kan polisi begitu wise alias bijak. Menilang jika tertangkap razia. Secara umum, jika tertangkap individu dan melanggar terkadang polisi hanya memberi teguran simpatik. Wow, polisi jadi wise alias bijak (wise person). Sebab, kasihan juga dengan rengekan pengendara: “Tolong lah pak polisi, jangan ditilang. Saya akan patuhi aturan”. Nah loe!
Untuk itu, ayo dukung program kepolisian dan pilar lainnya yang bertujuan mengerem adanya kecelakaan lalu-lintas. Makanya, stop pelanggaran, stop kecelakaan. Dan, program KaPeKa adalah salahsatu upaya untuk itu.
Saatnya, bukan untuk saling menyalahkan. Ayolah jadi polisi untuk diri sendiri. Makanya, KaPeka adalah program mahasiswa bicara menuju mahasiswa bisa. Karena, usia muda produktif harus punya sikap atau adab yang baik. Kata orangtua bijak: Nak, jika Anda ingin belajar ke guru, pelajari dulu adabnya baru ilmunya. Sebab, orang berilmu belum tentu beradab tetapi orang beradab pasti berilmu.
Sukses Korlantas Polri. Sukses Ditlantas Polda Kaltim. Dan, jangan pernah takut dengan usia tua. Yang anda takutkan adalah jika muda tidak berkarya. Saatnya bijak jika melihat polisi baik dengan ucapan I Love U Police, bukan takut ‘Hayuuu Ada Polisi’ (Itu pertanda Anda punya kesalahan). **
)* Wakil Ketua Media Online Indonesia Kaltim