TINTKALTIM.COM-Trend global. Tak dapat dibendung. Nilai-nilai karakter dan lingkungan implikasinya dahsyat. Melihat lompatan itu, kini Pondok Pesantren Bairuha mempersiapkan diri melakukan transformasi karakter dan skill para santri dan santriwatinya.
Arahnya, santri dicetak menjadi hidup secara maksimal, sehingga kerangka kerjanya berbasis teknologi tetapi dikembangkan di masyarakat yang berbudi luhur ikut menyelesaikan masalah sosial dan tantangannya.

Itulah kerja-kerja jariyah atau amal soleh dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kota Balikpapan. Lembaga ini ingin menciptakan komponen manusia yang menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi dan karakter diri.
Melalui Kampung Santri Bairuha, di tempat ini, setiap individu digembleng pada pola sikap yang terbentuk dari faktor kepribadian (personality) tetapi tidak acuh atau cuek dengan lingkungan. Karena karakternya dicetak sejak dini. Karakter itu tidak internal tetapi secara eksternal membentuk karakter di masyarakat

“Karakter individu di Pesantren Bairuha itu, sejatinya untuk mencetak karakter di masyarakat. Sebab, transfer knowledge sikapnya pada implementasi sehari-hari,” kata Ketua LDII Kota Balikpapan, Herry Fathamsyah menjelaskan, makna karakter yang ada di pesantrennya.
Misalnya contoh karakter itu, individu diminta hidup bersih dan santun kepada siapapun. Itu dipraktekkan, bukan sekadar teoritis. Perilaku itu jadi kebiasaan serta budaya hidup di masyarakat. Tertib berlalu-lintas kemana saja, itu pun wajib.

“Jadi misalnya mereka bermain silat. Tak boleh emosi, tetap santun dan jadi contoh di masyarakat. Itulah karakter tempaan LDII di Ponpes Bairuha,” kata Herry.
LDII memadukan manusia dan agama. Ibarat mata air yang terus mengalir menghilangkan dahaga bagi yang meminumnya. Semakin digali, semakin jernih kearifannya.

Seolah, Kampung Santri Bairuha bisa diasumsikan jadi ‘candradimuka’ (tempat penggemblengan pribadi agar seseorang memiliki karakter yang kuat), seperti kisah di pewayangan Gatotkoco yang mendapat julukan ‘otot kawat tulang wesi’.
Ada penempaan, kebiasaan mencontohkan karakter budi luhur di masyarakat dan nilai-nilai sosial yang bukan ‘topeng sosial’ tapi menampilkan figur individu secara faktual lahir dari batin keikhlasan.

Karakter itu kata Herry, bukan by design tetapi tercipta sendiri. Misalnya, ada tamu. Santri-santri Bairuha harus menghargai. Memuliakan tamu. Karena, mereka dididik di pesantren untuk menunjukkan di masyarakat yang merupakan lingkungan pendidikan kedua.
“Kami ajarkan bagaimana anak-anak harus mengenyam pendidikan karakter. Idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dan mereka harus menyesuaikan dengan karakter itu. Di lingkungan masyarakat juga harus mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perubahan,” kata Herry.

Dalam perjalanannya, karakter itu kata Herry bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang membawa perubahan besar. Seperti smartphone dan internet dipakai anak-anak, hanya kulturnya tetap Indonesia.
Sikap mereka tetap toleransi dan berjiwa nasionalis berbingkai Bhineka Tunggal Ika. Tidak ‘kebarat-baratan’ karena karakternya terbentuk. Bukan teoritis tapi aplikatif sehari-hari.

Dari pantauan media ini, sisi karakter itu terlihat jelas. Saat masuk Ponpes Bairuha, anak-anak muda yang santun, sopan menjawab salam. Mereka pun mempersilakan untuk duduk di ruang, karena mengetahui itu tamu dari pimpinan.
Dipertontonkan cara berkomunikasi sambil merunduk. Ciri menghargai tamu. Tak hanya mendiamkan tamu, mereka berinteraksi. “Bapak mau saya buatkan kopi. Ini ada kopi apa saja dan air panasnya lagi saya masak. Tunggu mendidih,” kata seorang santri begitu sopan sambil menyeduh kopi dan teh

Mimik wajah anak-anak muda berkarakter itu pun tak berhenti berkomunikasi. Ia terus berbincang mempersilakan tamu. “Itu ada buah dan snack silakan dicicipi pak, sambil menunggu bapak pimpinan,” kata mereka santun.
Itu realitas praktek mencontoh Baginda Rasulullah kaitan referensi jika menghormati tamu. Rasulullah sangat mencintai tamu, tanpa membedakan status sosial, asal-usul, jenis kelamin, suku dan agama.

Santi-santri Bairuha itu seolah yakin dan mengajarkan kepada kita bahwa tamu tidak akan mengurangi jatah rezeki, tetapi para tamu mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit.
“Itu realitas di Ponpes Bairuha. Mereka semua dididik menggunakan konsep budi luhur dan 6 tabiat yang jadi ‘senjata kehidupan’ warga LDII yakni rukun, kompak, kerjasama dengan baik, jujur, amanah dan mujhid (hidup bekerja keras),” urai Herry.
KAWASAN SAKINAH
Memasuki Kampung Santri Bairuha, Anda bisa mendapatkan sisi ketenangan (sakinah). Ucapan salam terdengar di mana-mana. Ponpes Bairuha itu kini memiliki SMP dan SMA Tri Sukses Generus namanya.
Apa itu Tri Sukses Generus? Kata Herry, itu adalah alim-faqih, memiliki akhlak mulia dan berjiwa mandiri. Dan Generus adalah generasi penerus. Tentu, penerus karakter dan skill berbasis agama.

Pola kehidupan Ponpes Bairuha bukan sekadar bicara ekstrakurikuler santri-santriwati. Mereka ‘men-charge hati dan mental’ lewat santri bisa qatam Quran dan mencetak juru dakwah untuk mengajarkan karakter budi luhur dan ke depan jadi entrepreneur.
Di Kampung Santri Bairuha, pendidikan karakter menjadi e-learning. Karena, para pengasuh dan pimpinan pondok berkeyakinan, tanpa karakter budi luhur yang baik, maka proses bernegara, berbangsa, bermasyarakat bahkan pembangunan tak berjalan maksimal

Tapi, perannya bukan hanya internal Ponpes Bairuha, juga melibatkan seluruh stakeholders. Semangat sinergi, kolaborasi, koordinasi dan komunikasi itulah yang selalu dibuka lebar LDII untuk menciptakan implementasi karakter di lingkungan pondok maupun masyarakat.
Mereka mencetak bukan hanya karakter kognitif tapi tumbuh dan dapat dilihat lewat praktek. Faktornya, pembiasaan dan konsisten lewat pendidikan karakter.
ALA JEPANG
Sementara, bagi Wakil Ketua LDII Balikpapan Laode Beni, karakter yang baik tak terbentuk dalam seminggu atau sebulan. Itu dibuat sedikit demi sedikit, hari demi hari. Upaya yang serius dan berkelanjutan atas dukungan seluruh elemen.
“Dan itulah pendidikan karakter di Ponpes Bairuha. Istilahnya karakter itu tercipta every day dan every where (setiap hari dan di mana saja),” contoh Laode Beni.

Bahkan, Ponpes Bairuha menjadi tempat penangkal permasalahan merosotnya nilai karakter bangsa. Konflik SARA, kekerasan dan lainnya tercipta. Itu semua karena pendidikan karakter.
“Makanya kita melakukan benchmark karakter Society 5.0 ala Jepang. Sebenarnya, sebelum dideklarasikan karakter itu, LDII lewat aktivitas santri Bairuha sudah melakukan dan ada kesamaan,” jelas Laode.
Bagi Laode, manusia yang dicetak di Ponpes Bairuha, serius, konsisten melakukan pembelajaran moral melalui sekolah. “Kan Jepang itu dikenal sebagai warga yang punya karakter disiplin, ulet, jujur, pekerja keras dan sebagainya. Itulah kesamaan yang masuk dalam ‘kurikulum pendidikan’ LDII di Ponpes Bairuha,” tambah Laode.
Di LDII, menurut Laode ada kesamaan pembentukan karakter lewat konsep Society 5.0 yang semua itu berpusat pada manusia yang diajarkan di Jepang.

Misalnya saja, nilai-nilai emosional. Di Jepang ada bahan ajar kaitan dedikasi, loyalitas, bertanggungjawab dan lainnya. Di LDII, akhlaqul karimah yang meliputi jujur, amanah, sabar, keporo ngalah yang istilah Jawa disebut berani ngalah (bukan sok menang), mandiri.
Berikut kata Laode, nilai-nilai intelektual di Jepang seperti kreativitas, inovatif dan lainnya, di LDII dibudayakan sebagai alim-faqih.
“Secara fisikal misalnya, di Jepang itu memperhatikan kesehatan jasmani, olahraga karate, kempo jiu jistu dan lainnya. Nah, di LDII olahraga jadi niat menjaga kesehatan fisik dan mental seperti Persinas Asad (perguruan silat nasional Asad), senam barokah, forum sepakbola generasi Indonesia (Forsgi) dan lainnya. Sama toh. Ini bukan mengada-ngada,” kata Laode.
Yang menarik kata Laode, nilai-nilai sosial dalam implementasinya. Di Jepang ada kerjasama tim, nasionalisme dan lainnya. Lalu di LDII itu dikembangkan menjadi rukun, kompak, kerjasama yang baik, empat roda berputar, NKRI harga mati dan lainnya. Dan spritualitas di Jepang ada kehidupan bermakna, kehidupan yang nyaman dan sehat.
“Lalu di LDII kaitan spiritualitas itu direfleksikan sebagai niat semata karena Allah sebagai modal dasar untuk mencapai keselamatan dunai dan akhirat,” jelas Laode.
Bahkan yang menarik, dalam pembinaan karakter itu, seluruh santri dan orang-orang LDII tidak merokok. Bukan karena haram, tetapi lebih pada karakter kaitan mudharat yang dihasilkan bagi fisik
“Jadi saya ingin melansir komentar seorang cendekiawan NU Dr Ahmad Ali MD MA yang juga anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia ingin meluruskan stigma negatif bahwa jamaah LDII itu eksklusif,” kata Laode.
Justru, LDII adalah organisasi keagamaan yang inklusif, bisa kerjasama dengan siapa pun sejauh untuk fastabiqul khairat. “Menurut Ahmad Ali dari hasil riset yang ditulis dalam buku kaitan nilai-nilai kebajikan dalam jamaah LDII, dari amal soleh hingga kemandirian, semua stigma negatif itu ditepis. Makanya, silakan datang ke Kampung Santri Bairuha, sehingga bisa melihat implementasi pembinaan karakter itu sesungguhnya,” pungkas Laode Beni. (gt)