TINTAKALTIM.COM-Sebagai pejabat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Hasbullah Helmi sering dihadapkan dengan frasa ‘warga pendatang’ dan ‘pindah rumah’ yang selama ini akrab di telinga masyarakat bahkan populer digunakan.
Alasannya sederhana, ia menghubungkan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai Indonesia yang harus menjaga nilai persatuan dan kesatuan.
“Terminologi pendatang itu kan, seseorang datang berkunjung atau kemudian menetap. Nah apa itu pendatang? Sebaiknya istilah itu diganti,” kata Kepala Disdukcapil Kota Balikpapan Hasbullah Helmi ketika bincang santai yang seolah ‘menggugat’ kata pendatang sebab terkadang jadi dikotomi di masyarakat.
Dalam kaidah kependudukan kata Helmi, selama seseorang memiliki nomor induk kependudukan (NIK) yang sah, rasanya tidak dapat disebut pendatang. Karena dia bukan orang asing. Selain itu, di mana pun pulau serta provinsinya selama masih dalam teritorial NKRI dia bukan pendatang. Sebab, dia orang Indonesia asli dan punya hak tinggal di wilayah NKRI. “Juga tidak disebut di KTP, dia warga pendatang,” ujar Helmi.
“Kecuali dia orang asing. Agak lucu toh, dari Indonesia terus menetap di wilayah yang masih di Indonesai disebut pendatang? Rasional toh analisa itu,” tanya Helmi ketika berbincang dengan media ini kaitan ‘frasa warga pendatang’ dalam konteks kependudukan.
Helmi juga memberi contoh, ada orang Jawa atau Sulawesi memilih untuk tinggal di Kalimantan, terus disebut pendatang. Nah, secara geografis wilayah memang terpisah tapi jika disatukan dengan kata Indonesia kan sudah menyatu dalam satu negara. “Kalau seseorang punya identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia, terus apa lalu ada stigma bahwa dia tidak asli dan asli sebagai penduduk? Ini yang saya maksud,” beber Helmi.
Dengan tidak mengurangi makna orang yang lahir di Kota Balikpapan dan ada sebutan ‘putra asli Balikpapan’, maka ketika ada dari luar daerah menetap maka disebut juga warga. Hanya persoalan ada pada status siapa yang terlebih dulu tinggal sangat lama di Balikpapan. “Kalau menurut Pak Imdaad Hamid (Walikota Balikpapan sebelumnya), minimal 15 tahun tinggal di Balikpapan maka disebut putra asli Balikpapan,” ulas Helmi.
Lalau apa sebutan yang tepat? Menurut Helmi, ‘warga pendatang’ itu diganti sebagai ‘warga ingin menetap atau tinggal’ di Kota Balikpapan. Mereka berbaur bersama dengan warga yang terlebih dahulu tinggal dan lahir di Kota Balikpapan. “Hanya harus tunduk dan patuh atas aturan di Kota Balikpapan dalam bermasyarakat,” ungkapnya.
Helmi juga menyebut, skala prioritas dalam konteks penduduk asli atau putra daerah misalnya ada alokasi khusus buat putra daerah dalam hal penerimaan tenaga kerja atau pendaftaran TNI dan Polri. “Itu semacam penghargaan atau privilege dan sudah dilakukan. Tapi dalam bermasyarakat, bersosialisasi hindari kata pendatang tadi. Sebab yang ada Indonesia,” ulasnya.
Kaitan mengganti kata pendatang ini, dirinya akan mengusulkan ke Walikota Balikpapan H Rizal Effendi agar jika ada pertemuan nasional, dapat mengusulkan yang alasannya mengukuhkan NKRI.
BERUBAH ALAMAT
Selain frasa ‘warga pendatang’ Helmi juga membahas kaitan warga yang disebut pindah. Padahal, hal itu bukan pindah sebab masih dalam lingkup satu kota, satu daerah, satu provinsi dan satu wilayah. “Sebaiknya kita juga ubah namanya menjadi berubah alamat, bukan pindah,” kata Helmi.
Ia menyebut, ada si Fulan tinggal di Kecamatan Balikpapan Barat. Lalu tiba-tiba harus mengubah ke alamat lain misalnya Kecamatan Balikpapan Utara. “Itu namanya berubah alamat. Sebab, nanti kalau disebut pindah, ada lagi dikotomi atau perbedaan dua aspek dengan makna berbeda. Disebut lagi oh kau warga pindahan ya. Padahal alamatnya diubah saja,” cerita Helmi.
Menurut Helmi, pihaknya membahas hal itu semua didasarkan atas kaidah NKRI dan teritorial Indonesia. Tak ada maksud lain. Sebab, jika ‘frasa warga pendatang’ dan ‘frasa warga pindah’ itu terus dimunculkan, sepertinya kita bukan tinggal di Indonesia saja. “Kita ingin kondusif. Warganya kompak, etnis apapun, agama apapun dan tidak boleh ada yang merasa lebih A, lebih B dan lebih C. Sebab Kota Balikpapan ini hetrogen dan banyak paguyuban, sehingga dikotomi itu harus dihilangkan,” pungkas Helmi. (git)