Oleh: Sugito *)
MERDEKA! Pekik itu beberapa hari lagi terdengar lantang di seluruh Indonesia. Bahkan, dunia. 17 Agustus 2020, mengenang 75 tahun lalu Soekarno-Hatta memproklamirkan Indonesia.
Jika kalian lahir di generasi milenial, tentu sekarang harus ingat sejarah. Ada istilah ‘jas merah’ jangan lupakan sejarah. Bagaimana pejuang membuat Indonesia merdeka, berjuang hingga korbankan nyawa.
Usia milenial, harus mengisinya dengan ‘makna perjuangan pejuang’ sebab tidak pernah ikut berjuang angkat senjata dan bambu runcing.
Ayo, kita flashback. Renungkan perjuangan para pahlawan terdahulu. Rela mati demi mengibarkan bendera merah putih. Kok, sepertinya pengorbanan mereka tak ‘dibayar’ sebanding. Tak membekas di dada anak muda. Tapi justru merata, tak hanya orang muda. Orang dewasa juga begitu.
Jelang Agustusan, bendera merah putih belum semarak menghiasi kota dan rumah. Dari pemantauan Tintakaltim, di jalan-jalan utama Kota Balikpapan seperti Jalan Ahmad Yani dan Sudirman yang dilintasi pukul 07.00 Wita, masih terlihat pemandangan ‘gersang’. Bendera merah putih belum ramai dipasang.
Kalaupun ada dipasang di depan pertokoan atau rumah tidak banyak. Jaraknya jauh. Kira-kira kalau dihitung 10 rumah pertokoan, baru dijumpai lagi umbul-umbul dan bendera itu. Padahal, Indonesia mau hajatan besar yakni merayakan Hari Kemerdekaan RI. Ada seh ramai merah putih di tepi jalan, tapi itu pedagang bendera.
Jika ingat dahulu. Kota dan warganya sibuk. Bendera merah putih menghiasi halaman rumah, kendaraan roda dua bahkan empat. Kibarannya membuat suasana kota menjadi seperti ada pesta kenduri. Wow pokoknya merah-putih berkibar memenuhi jalan-jalan. Sejauh mata memandang, merah putih terlihat terang.
Tapi kini. Sudah ada imbauan memasang bendera merah putih dan umbul-umbul, di lapangan masih sepi! Jarang bendera merah putih menghiasi jalan dan rumah. Bahkan, gapura di kawasan Karang Jati masih memasang HUT ke-74 RI tahun lalu.
Harusnya jalan-jalan protokol jadi contoh. Ada lho, di perkampungan yang warganya sudah mengibarkan umbul-umbul serta bendera merah putih, sehingga terlihat lebih meriah.
Siapa yang harus disalahkan? Jika memasang bendera di saat Agustusan tak seperti dahulu? Tentu, tidak dapat disangkal kalau ini semua lantaran arus globalisasi.
Apa itu globalisasi? Ya, masuknya ruang lingkup dunia. Masuknya ragam jenis informasi, teknologi, fashion, politik, budaya ke Indonesia. Miris ya. Apalagi sampai ada yang bilang begini:
“Sekarang zaman now, bukan zaman ndeso”. Modern sudah Indonesia, eranya digital dan smart phone, jadi pasang bendera saja di handphone (HP), share sudah cukup.
Secara teknologi, mungkin benar. Lebih kreatif di sosmed. Tak salah, hanya ini bicara masalah rasa. Ya rasa nasionalisme seperti berkurang. Atau nasionalisme sudah luntur?
Karena menurut penulis, bendera merah putih itu bukan sekadar gambar visual yang terlihat dalam foto. Tapi itu amanat konstitusi yang di Pasal 35 UUD 1945 disebut dengan beragam yakni Bendera Merah Putih, Sang Dwiwarna atau Sangsaka Merah Putih.
Fisiknya ada, tak heran kalau setiap perayaan 17 Agustus, saat upacara ada pasukan pengibar bendera (Paskibra). Itu di daerah karena bukan bendera pusaka dikibarkan. Untuk bendera pusaka hanya satu dikibarkan saat upacara 17 Agustus di Istana Negara maka namanya pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka). Bukan gambar bendera di smart phone yang dikibarkan tapi fisik bendera yang dibawa dara-dara cantik beprestasi yang tampil dari hasil seleksi.
Memasang bendera merah putih dan umbul-umbul itu, sebenarnya berdasarkan surat edaran dari Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Praktino. Memasangnya, pada tanggal 1-31 Agustus 2020. Juga surat edaran Walikota Balikpapan. Tema logo ke-75 HUT RI adalah Bangga Buatan Indonesia yang tema besarnya: Indonesia Maju.
Ayo asah rasa kebangsaan dan nasionalisme kita. Ini sudah mendekati 17 Agustus 2020. Penulis akan ingatkan peristiwa heroik yang sangat original dan fakta. Bukan sekadar gambar foto di smartphone. Aksi spontanitas Yohanis Andigala (13), bocah NTT yang viral. Ia naik tiang bendera setinggi kira-kira 20 meter hanya untuk ‘menyelamatkan’ merah putih, karena saat upacara HUT ke-73 RI, ketika bendera merah putih akan dikibarkan, talinya putus.
Ada rasa nasionalisme yang muncul dari jiwa Yohanes secara alamiah. Sehingga, aksinya mendapat simpatik publik karena aksinya bukan direkayasa. Istilah penulis, aksi otentik bukan kosmetik. Yohanes bukan ingin pencitraan supaya cepat terkenal.
Artinya, inilah watak nasionalisme sejati dan bukan dibuat-buat. Jadi layak untuk divideokan, difoto dan dishare di media sosial (medsos). Bukan hanya gambar foto merah putih visual tak bergerak dan tak punya arti gerakan nasionalisme dari hati.
Selain aksi heroik Yohanes, sejarah juga pernah mencatat perjuangan arek-arek Suroboyo yang marah dengan Belanda karena dianggap telah menghina kedaulatan Indonesia memasang bendera berwarna merah, putih dan biru. Sontak pemuda Suroboyo itu naik dan melakukan perobekan bendera warna biru sehingga menjadi merah putih saja yang dikenal dengan Peristiwa Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), kalau tidak salah terletak di Jalan Tunjungan.
Kemarahan arek-arek Suroboyo itu, penulis ingin merefleksikan dalam ungkapan emosi gaya Suroboyoan, meski ucapan itu belum tentu benar. Tapi kira-kira begini waktu itu mereka marah: “Kurang ajare wong-wong Londo iku, wani tenan ngibarke gendero warnane abang putih biru. Lapo se golek perkoro. Arek Suroboyo ora wedi matek. (Kurang ajar orang-orang Belanda itu, berani betul mengibarkan bendera warna merah, putih, biru. Kenapa seh cari masalah. Anak Surabaya tidak takut mati, Red). Ha..ha!
Men-share foto bendera merah putih dan ucapan ultah Republik Indonesia lewat smart phone atau HP, penulis tidak menampik. Mungkin itu juga bagian ‘merdeka’ yang Anda ciptakan. Sebab, sekarang kan musim men-share makanan, minuman dan apapun dengan smart phone, Merdeka….Merdeka…Merdeka, deh.! Tapi istilahnya itu ‘Merdeka Semu’ . Beda dengan ‘Merdeka Original’ yakni kalau Anda memasang bendera merah putih di depan rumah atau perkantoran.
Pesan moralnya adalah. Ayo bangkitkan rasa nasionalisme kalian. Saatnya berbuat sekarang. Hanya saja, karena mau peringatan Agustusan, penulis ingatkan jangan sampai salah menulis dengan begini: DIRGAHAYU RI KE-75? Kalimat ini salah dan tidak logis. Bisa diartikan ada 75 buah Republik Indonesia. Jadi, masih ada 74 RI lagi. Padahal Republik Indonesia hanya ada satu. Yang benar adalah, Selamat Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia atau sederhana saja. Dirgahayu Republik Indonesia.
Nah penutup, kalau Anda sudah memasang bendera merah putih di depan rumah atau perkantoran, maka kalian sudah melaksanakan kegiatan original yang memunculkan rasa nasionalisme sejati. Lalu Anda berkomentar: “Saya sudah pasang bendera merah putih depan rumah dan perkantoran lho. Kamu kapan, ayo pasang dong”.
Ingat kata Presiden Soekarno:, Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri. Memasang bendera merah putih berarti mengingat sejarah. Selamat HUT RI ke-75. Indonesia Maju.**
*) Direktur Tintakaltim, Ketua Kompartemen Hubungan Antarlembaga dan Pemerintah Kadin Balikpapan, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Nusantara Balikpapan, Wakil Ketua Forum CSR Balikpapan