TINTAKALTIM.COM-Sejarawan Dr Anhar Gonggong MA menegaskan, perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Provinsi Kaltim, jika melihat sejarah sudah jadi desain mantan Presiden Soekarno. Bahkan saat itu, Soekarno telah memiliki semacam sketsa perpindahan.
“Sebenarnya perpindahan ibukota itu baik. Karena, tujuannya agar pembangunan jangan terpusat di Jawa melulu,” kata Anhar menjawab pertanyaan mahasiswa kaitan perpindahan IKN di acara Diskusi Publik bertemakan Polri dan Semangat Kemerdekaan Menuju Indonesia Maju di Hotel Grandika, Jakarta, Rabu (9/08/2023).
Acara yang dipandu moderator Fristian Gries (jurnalis) dan digagas Divisi Humas Polri ini, menghadirkan narasumber selain Anhar Gonggong, juga anggota DPR-RI (komisi III) Supriansa SH MH, Ir Jaka Santosa (Kadin Indonesia) dan Kasubditbang Pusjarah Mabes Polri AKBP Edi Purnawan SPd MM.
Acara itu digelar secara nasional secara zoom meeting. Dan di Polda Kaltim, dipimpin Kabid Humas Kombes Pol Yusuf Sutedjo dengan peserta para pejabat utama (PJU) Polda Kaltim, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, rektor dan mahasiswa serta kepala sekolah yang digelar di Ruang Rapat Utama (Rupatama) lantai III Jln Syarifuddin Yoes.
Menurut Anhar, rencana perpindahan itu pernah digagas mantan Presiden Soekarno dan beberapa kota direkomendasikan. “Pak Soekarno waktu itu menuju ke Palangkaraya. Dan visinya sebaiknya ibu kota berada di luar Jawa yang akhirnya dipilih Provinsi Kaltim,” kata Anhar.
Tujuan perpindahan ibukota itu, tentu mengembangkan Indonesia. Sekarang, tinggal masyarakat Kaltim harus menerima dengan ikhlas berbagai hal kaitan migrasi penduduk dari daerah lain.
“Jadi sebenarnya Kaltim siap menerima atau nggak khususnya hetrogenitas masyarakat yang nanti ke IKN. Itu yang juga harus dilihat secara proporsional,” kata Anhar.
Bahkan, secara pertumbuhan ekonomi, Kadin melalui Jaka Santosa menilai perpindahan IKN akan menjadi simpul pertumbuhan ekonomi baru. “Singkatnya, IKN pindah berarti ada pengembangan ekonomi baru di Kaltim dan Indonesia,” ujar Jaka Santosa singkat.
BAWAHAN
Dalam konteks menuju Indonesia maju, pertanyaannya kata Anhar, apakah memang perspefktif maju itu benar-benar maju? Nah dalam konteks polisi, Anhar berpesan agar jangan dilupakan polisi bawahan. Karena, polisi bisa besar itu karena juga peran bawahan.
“Pikiran salah jika polisi yang bawah itu tidak dihargai. Karena, sejauh ini polisi yang atasan atau pangkat tinggi-tinggi saja yang selalu mendapat reward. Yang bawah juga harus diberi kesempatan. Jadikan juga mereka tokoh kecil sebab juga ikut memberi kontribusi RI menjadi tegak lewat gerakan-gerakannya,” kata Anhar.
Dua penggerak polisi itu adalah kata Anhar, Tribarta dan Catur Prasetya. Dan itu semua adalah Pancasila. Wujud itu bisa tercapai di institusi kepolisian karena ‘tokoh bawahan atau kecil’ ikut berperan. “Intinya yang kecil jangan dilupakan,” kata Anhar.
Anhar punya kisah di masa lalu, ia pernah ditangkap polisi sebanyak 12 kali karena menjadi aktivitas dan dianggap anti dwifungsi .
Saat itu, ada polisi bernama Gunawan. Dan Anhar bercerita kisahnya itu. “Iki piye (ini bagaimana), tiap hari dirimu saya tangkap,” ujar Anhar menirukan Gunawan dengan logat Jawa. Hanya, ia sempat terharu, ketika melihat dirinya selalu ditangkap, polisi Gunawan tak tega dan menangis.
Rasa humanis itu kata Anhar menyentuh hatinya, sebenarnya polisi tak semuanya berniat jahat kepada siapapun. “Dia melakukan penangkapan itu karena perintah atasan. Dirinya sebenarnya tidak tega. Inilah kesan polisi bawahan yang harus juga dilihat secara proporsional,” ungkap Anhar.
Kaitan memberi reward polisi bawahan itu, moderator Fristian Griec menimpali, jika Polri sudah membuat kompetisi Hoegeng Award yang tujuannya mengakomodir polisi bawahan untuk mendapatkan penghargaan dan dihargai.
PROFIL POLISI
Sementara itu Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan yang membacakan sambutan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dr Sandi Nugroho menjelaskan, ada tiga polisi yang tercatat dalam sejarah institusi kepolisian yang digandrungi publik
Ketiga polisi itu kata Ramadhan, pertama, Jenderal Polisi (purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo karena pernah menjabat Kapolri (saat itu disebut Kepala Djawatan Kepolisian Negara) dari tahun 1945-1959.
Kemudian, kedua, Jenderal polisi (purn) Raden Hoegeng Imam Santoso. Dan polisi Hoegeng ini jadi sosok yang disenangi karena kesederhanaannya dan pernah sebagai Kapolri di tahun 1968-1971
Dan yang terakhir kata Ramadhan, Komjen M Jasin yang merupakan pendiri Korps Brimob Polri. Dan M Jasin juga polisi pertama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional yang dikenal dalam peristiwa 10 November di Surabaya.
Oleh karena itu kata Ramadhan, fungsi negara untuk menjamin rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan bagian dan tanggung jawab Polri. “Dan polisi sudah berperan besar seperti mengatasi ancaman stabilitas sosial dan politik, bencana alam serta ancaman covid-19 dalam beberapa waktu lalu,” kata Ramadhan.
Sehingga kata Ramadhan, Diskusi Publik digelar sebagai wujud refleksi kemerdekaan Indonesia dan sebagai wadah diskusi, untuk peningkatan kesadaran dalam dimensi lain kemerdekaan Indonesia untuk penguatan institusi Polri. (gt)