TINTAKALTIM.COM-Operator feri penyeberangan Kariangau-Penajam Paser Utara (PPU) menyampaikan keluhannya kaitan biaya yang harus dikeluarkan relatif mahal khususnya saat survei dan sertifikasi yang dilakukan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI).
Keluhan itu muncul di sela diskusi dengan Ketua DPP Gabungan Pengusaha Angkutan Danau, Sungai dan Penyeberangan (Gaspasdap) Khoiri Soetomo yang dirangkai buka bersama (bukber) di Rumah Makan Ayam Goreng Bu Tuti Khas Bandung di Kompleks Wika, Kamis (14/04/2022). Khoiri hadir di Kaltim juga melakukan safari Ramadan untuk jajaran Dharma Lautan Utama (DLU).
Acara silaturahmi itu, berjalan penuh kekeluargaan yang diinisiasi Ketua DPC Gaspadab Kariangau-Penajam Dodi HS. Sejumlah undangan hadir yakni Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XVII Kaltim-Kaltara Avi Mukti Amin, Kepala Seksi Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan Octaviano Rachman Achirman S Ap (Nano), pimpinan dan owner operator seperti H Sabri Rhamdani (PT Sadena Mitra Bahari), Andri Irawan (PT Dharma Lautan Utama), PT Bahtera Samudra, PT Tranship Indonesia, Jasa Raharja (Bramantyo), GM Jasa Raharja Putra (Irvan DL), PT ASDP Indonesia Ferry (Rachmat) juga dari pengurus INFA (Taufiq), Nasution (Pasca Dana Sundari) dan lainnya.

Dalam diskusi itu, Nasution menyampaikan bahwa survei dan audit pada aspek keselamatan kapal hingga keluarnya sertifikat yang dilakukan BKI relatif mahal. Beda ketika kewenangan masih di tangan Ditjen Perhubungan Laut.
“Selain mahal, juga respon time lama. Kami harus selalu menunggu. Sebaiknya, di lintasan feri yang menjadi tanggung jawab regulator BPTD wilayah, diserahkan saja ke BPTD Kaltim-Kaltara,” usul Nasution.

Seperti diketahui, kini telah terjadi pengalihan tugas dan tanggung jawab fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran kapal sungai, danau dan penyeberangan yang sebelumnya dikeluarkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) dialihkan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) atau BPTD yang berhak mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB).
Sementara BKI, salah satu BUMN di Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan survei dan audit pada aspek keselamatan kapal dan menerbitkan sertifikat.

Dijelaskan Nasution, sebelumnya total membayar Rp9 juta dan sudah keluar sertifikat pasca docking atau survei lainnya dan bisa berlayar. Sekarang, harus merogoh kocek berkisar Rp30 juta. “Terlalu mahal sekali. Bukan kita tak mau bayar, tetapi bisa tidak dilakukan penurunan biaya (reduce cost), sehingga tidak memberatkan operator,” kata Nasution.
Secara komprehensif kata Nasution, penerapan sistem manajemen keselamatan kapal tentu diindahkan operator. Mulai dari alarm system, surat pernyataan keabsahan dokumen kapal dan lainnya sangat dipenuhi. “Intinya secara list of technical information yang dibutuhkan kaitan keselamatan kapal kita semua ada dan paham. Hanya, mengapa sekarang jadi mahal,” ujar Nasution berkali-kali.

Pernyataan senada juga disampaikan Sabri Rhamdani (PT Sadena). Ia menyebutkan, seperti obat-obatan juga terkesan mahal. Contoh, obat antimo (agar tidak mabuk), itu hanya berkisar Rp10 ribu. “Saya punya apotek, sehingga tahu. Tapi tercantum dalam invoice yang diserahkah BKI bisa sampai Rp30 ribu. Ini memang terlalu mahal,” kata Sabri.
HOLISTIK
Sementara itu, Khoiri Soetomo menjawab semua pertanyaan sejumlah operator dalam diskusi dan silaturahmi itu. Ia menjelaskan kaitan aspek keselamatan yang salah satunya mengacu pada standar internasional.
“Kita kan sudah berlakukan standar Solas atau konvensi internasional tentang maritim yang menjadi standar keselamatan wajib diterapkan pada kapal. Ini kaitan rancangan kapal dan teknis lainnya. Biasanya dilakukan BKI sesuai aturan survei seperti survei tahunan ataupun survei docking,” kata Khoiri Soetomo yang juga Direktur Keuangan PT Dharma Lautan Utama ini.
Khoiri menyebutkan, DPP Gapasdap tidak tinggal diam. Ia selalu melakukan langkah-langkah strategis lewat meeting baik secara daring maupun offline. Tujuannya membahas sejumlah masalah kaitan keselamatan dan kepentingan transportasi lainnya. Termasuk juga kaitan BKI.

“Perlu dicatat, Gapasdap hadir bukan memperjuangkan operator saja, tetapi seluruh stakeholders yang berkaitan dengan transportasi laut juga konsumen,” jelas Khoiri Soetomo.
Ia memberi contoh, misalnya disuruh naik tarif 100 persen, tentu Gapasdap menolak. Karena, memberatkan konsumen. Jadi, juga memikirkan dua sisi. Sebab, kalau tarif mahal maka konsumen pun mengeluh.
Dirinya menyadari, industri angkutan penyeberangan terus bertahan di tengah tingginya beaya operasional. Dan, kenaikan tarif menjadi hal yang ditunggu pelaku usaha agar kinerjanya baik.
Kaitan tarif ini menjadi penting, juga diperjuangkan Gapasdap. Sebab, seperti tarif penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang hanya Rp6 ribu. Dari tarif itu, operator penyeberangan hanya mendapatkan Rp2.600. Sisanya dibagi untuk pelabuhan, asuransi dan lainnya.

Ia mengatakan, pengusaha tetap harus membayar upah buruh, bahan bakar dan jasa perawatan kapal. “Kalau tarif tak naik, tentu sulit untuk hidup. Ibaratnya, seperti cerita tukang becak, mau minta selamat bayar Rp1.000,” kelakar Khoiri.
Terkait dengan BKI, Gapasdap segera mendiskusikan hingga tingkat pusat. Sebab, domain keselamatan kapal itu pun mandatory-nya pusat dalam hal ini Ditjen Perhubungan Darat sesuai kewenangan yang baru.
“Nanti insiatif dari DPC Gapasdap Kariangau-PPU Mas Dody. Bisa digelar rapat dan apa saja solusi atas keluhan dari Balikpapan,” ujarnya.
Sementara itu, Dody menyebutkan sangat memberi apresiasi seluruh operator yang hadir. Ternyata, tak disangka acara buka bersama yang dirangkai silaturahmi menjadi lebih ‘hidup’ dan produktif. “Ini jadi ajang untuk mencari solusi seluruh operator yang beroperasi di lintasan penyeberangan Kariangau-PPU. Saya memberi ucapan terimakasih. Semoga, kerjasama semua pihak dan sinergi serta kolaborasi dapat terus ditingkatkan,” pungkas Dody. (gt)