Perkampungan itu semakin lama semakin ramai. Kawasan perniagaan pun telah ada. Pandansari, Kebun Sayur, dan Kampung Baru sudah menggeliat sejak dekade 1930-an. Nama kampung terakhir tak lain adalah sebuah perkampungan orang-orang Bugis dan Makassar di Balikpapan.
LEMUSA nyamu anri, musolangi atiku
Engkamu tudang boting, riolo mataku
Terisengi muwesengi, mapojo balolipami
Rimulana mopa, nadeto sirempe
Kesipa ro adamu, ruweto siolota
Pakule naro anri, musolangi atiku
Kesipa ro adamu, ruweto siolota
Pakule naro anri, musolangi atiku
Tembang bugis bergenre pop melayu itu terdengar syahdu dari sebuah kios pedagang emas di Pasar Inpres, Kebun Sayur, Balikpapan Barat. Lagu berjudul “Balo Lipa” itu sedang didengarkan seorang perempuan paruh baya bersuku Bugis. Rohani namanya. Menanti senja sebelum menutup toko, perempuan berhijab ini serasa menikmati bait demi bait syair lagu gubahan Anshar S tersebut. Kediamannya di kawasan Pandansari, tak jauh dari tempatnya berjualan logam mulia.
“Lagu ini termasuk lagu sedih. Menceritakan seorang pria yang merasa tertipu cinta palsu dari kekasihnya. Hati si pria hancur ketika melihat kekasihnya duduk bersanding dengan lelaki lain. Ya… seperti itu lah,” ujarnya sedikit tersipu menjelaskan arti lirik lagu “Balo Lipa”.
Tak hanya “Balo Lipa”, Rohani juga menyukai lagu lain berjudul “Janci Mutaroe”. Dalam bahasa Indonesia diartikan janji yang dilupakan. “Lirik lagu bugis zaman sekarang ini lebih banyak jenaka. Kalau zaman dulu romantis, percintaan, dan kesedihan,” turur dia.
Rohani sudah 43 tahun tinggal di Kota Minyak. Tepatnya ia telah merantau ke Balikpapan sejak 1973. Sepekan setelah menikah, suaminya mengajak hijrah. Kota Balikpapan menjadi tujuan. Maklum, suaminya telah lebih dulu mengadu peruntungan di Balikpapan. Menggunakan perahu layar dan berhari-hari terapung di laut, perahu yang ditumpanginya akhirnya merapat di Pelabuhan Kampung Baru.
“Setelah memutuskan merantau, kami akhirnya menetap di sini. Sampai punya anak dan cucu. Bahasa, tradisi juga kami ajarkan ke mereka supaya tahu dan mengerti,” cerita Rohani.
Meski sudah lama menetap di Balikpapan, tradisi dan bahasa Bugis tidak ditinggalkan. Keseharian Rohani lebih sering menggunakan bahasa Bugis ketika berkomunikasi dengan keluarganya. Dengan orang berbeda suku, Rohani menggunakan bahasa Indonesia dengan logat bugis yang sangat kental.
Kentalnya tradisi serta bahasa yang dijaga meski dari Sulawesi pindah ke Balikpapan diklaim Rohani tidak akan pernah pudar. Itu bisa dipahami karena di Balikpapan Barat, tempat dia tinggal, etnis Bugis dan Makassar mendominasi. Terlebih di daerah Kampung Baru. “Banyak teman sesama suku bugis di sini. Apalagi di Kampung Baru,” ujarnya.
Mantan Camat Balikpapan Barat Suhardi membenarkan bahwa 80-90 persen penduduk yang berdomisili di kecamatan yang dipimpinnya merupakan etnis Bugis dan Makassar. “Kalau Balikpapan Barat itu yang lebih terkenal Kebun Sayurnya. Kebun sayur itu secara utuh ya Kampung Baru Ilir, Baru Tengah, Baru Ulu. Jika melihat demografinya, mayoritas memang dihuni oleh saudara dari etnis Bugis. Terlebih di Baru Ulu dan Baru Tengah. Persentasenya bisa dikatakan 90 persen,” ujarnya.
Balikpapan Barat umumnya memiliki banyak sejarah. Salah satunya soal terbentuknya Pasar Kebun Sayur. Konon nama tersebut diambil dari masyarakat yang suka bercocok tanam di kawasan tersebut, termasuk etnis Tionghoa. “Lalu muncullah istilah Kebun Sayur,” tutur Suhardi.
Seiring perkembangan zaman, memasuki periode tahun 1970-1980, Balikpapan Barat semakin melesat menjadi sentra ekonomi di Balikpapan. Bahkan kawasan perniagaan Klandasan disebut-sebut meredup pada saat itu. “Balikpapan Barat untuk perdagangan menjadi sentranya. Orang belanja pasti ke sini,” ucap Suhardi.
Sebelum akhirnya terjadi peristiwa kebakaran ketiga yang berlangsung pada tahun 1984. Kebakaran besar yang menghanguskan seluruh komplek niaga di daerah Kampung Baru. Tak hanya sekali dua kali, kebakaran sebelumnya juga terjadi lebih parah. “Saksi bisunya tu masjid Al-ula. Itulah satu-satunya bangunan masjid yang selamat. Padahal kata orang dulu, api sempat mengepung. Barang yang ditaruh di dalamnya justru terbakar sementara masjidnya tidak,” jelasnya. “Kalau mau lengkap ceritanya, Anda cari tokoh masyarakat di Kampung Baru. Mereka pasti lebih paham,” imbuh dia.
***
Penanda tegas dominasi etnis Bugis di wilayah Balikpapan Barat tergambar dari lanskap pemukiman nelayan. Sebagai pusat kota lama, Balikpapan Barat merupakan kawasan pemukiman nelayan, kawasan perdagangan dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pekerja kilang minyak dan masyarakat sekitar.
Kampung atas air di Kelurahan Margasari termasuk dalam kategori pemukiman nelayan. Meski dalam kenyataannya, di Kelurahan Margasari penduduknya dominan berprofesi sebagai pedagang. Dari data profil Kelurahan Margasari tahun 2013, 16 RT berada di atas air meliputi kawasan permukiman.
Posisi awal kampung Margasari berbatasan langsung dengan lokasi kilang minyak hingga ke zona Balikpapan Barat yang merupakan permukiman kumuh yang tidak diatur oleh pemerintah membujur hingga ke laut bebas yang berada di seberang kilang minyak. Pada awalnya, perusahaan kilang minyak ingin memindahkan permukiman warga yang berada di wilayah buffer zone kilang minyak, namun masyarakatnya tidak ingin dipindahkan ke daratan. Tahun 1992 terjadi kebakaran pada permukiman yang berada di wilayah buffer zone kilang minyak. Kebakaran ini menghanguskan seluruh permukiman. Karena kebakaran tersebut pemerintah berencana merelokasi penduduk ke daratan, namun oleh Arbain Side yang menjadi lurah pada saat itu menolak merelokasi warganya dengan alasan orang Bugis tidak dapat hidup jauh dari air. Karena penolakan tersebut, pemerintah memindahkan warga ke RT 29 dan RT 30. Pemerintah membuatkan perumahan tipe 21 dengan luas lahan 80 m2 dalam 3 tahap pembangunan dan rumah contoh tipe 36 dan tipe 70.
Setelah adanya resettlement di Kampung Margasari tahun 1992 di RT 29 dan RT 30, perubahan rumah terjadi secara bertahap dari tahun ke tahun. Dari tipe awal yaitu tipe 21 ditambahkan ruang dapur dan bertahap kemudian dibuat ruang tidur, ruang tamu dan ruang lainnya sebagai penunjang kegiatan di dalamnya. Hal ini ditunjang pula luas lahan rumah yang disediakan pemerintah yaitu 120 m2.
Tahun 2005 terjadi kebakaran kembali di Kampung Margasari RT 1 hingga RT 11 yang berbatasan langsung dengan RT 29 dan RT 30. Kebakaran ini menghanguskan hampir seluruh bangunan sehingga pemerintah membantu kembali pembangunan rumah warga. Namun pada kebakaran kedua ini pemerintah hanya membantu material bangunan dan pemetakan lahan rumah.
Sedangkan dalam pembangunan rumah, pemerintah tidak ikut campur. Setelah terjadi kebakaran sebanyak 2 kali, pemerintah merancang Kampung Margasari sebagai kawasan wisata bakau dan kuliner.
“Dengan wisata ini, pemerintah dapat mengontrol pembangunan rumah yang dapat terjadi secara liar dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat di Kampung Margasari,” jelas Suhardi. (*)