TINTAKALTIM.COM-GabunganPengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menolak Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 184 Tahun 2022 tentang tarif penyelenggaraan angkutan penyeberangan kelas ekonomi lintas antarprovinsi dan lintas antarnegara yang telah diumumkan atau dibertahukan oleh Dirjen Perhubungan Darat Hendro Sugianto Rabu (28/09/2022).
“Penyesuaian tarif antrprovinsi dilakukan pada 23 lintas penyeberangan komersil dengan penyesuaian berkisar sebesar 11 persen,” kata Hendro saat itu.
Kata dia, penyesuaian tarif mempertimbangkan hasil evaluasi perhitungan tarif penyelenggaraan angkutan penyeberangan kelas ekonomi serta demi menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran, keseimbangan antara kepentingan masyarakat, serta keberlangsungan industri penyeberangan.
Gapasdap melalui Ketua Umumnya Khoiri Soetomo tidak setuju bahkan belum dapat menerima karena belum terlihat mengakomodir beban biaya operasional kapal penyeberangan antar provinsi dalam membeli BBM jenis solar yang mengalami kenaikan sebesar 32 persen dan tidak berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 66 Tahun 2019 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan yang salahsatunya mengatur tentang besaran HPP terhadap tarif angkutan penyeberangan.
“Kalau hanya naik 11 persen, ini sangat bertolak belakang terhadap prinsip-prinsip dasar keselamatan pelayaran,” kata Khoiri Soetomo dalam suratnya yang juga ditandatangani sekjen Aminuddin Rifai dan ditembuskan ke Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Dirjen Perhubungan Darat, Direktur Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan dan Direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
TIDAK SESUAI
Menurut Khoiri, besaran kenaikan tarif tak sesuai usulan Gapasdap. Karena saat itu ada komponen kenaikan harga BBM dan tak terlalu besar. Kalau terlihat besar itu diakibatkan adanya kekurangan pada saat penetapan tarif sebelumnya yang dihitung mulai tahun 2018 dan kekurangannya 35,4 persen.
“Kalau berdasarkan ketentuan, harus dilakukan evaluasi atau penyesuaian setiap 6 bulan, tetapi hal ini tidak dilakukan, sehingga tidak cukup untuk menjamin keselamatan pelayaran dan juga standar pelayanan minimum (SPM),” jelas Khoiri.
Penetapan tarif hanya 11 persen itu, membuat heran Khoiri. Karena di satu sisi Menhub adalah penanggungjawab keselamatan transportasi, akan tetapi kenapa menetapkan tarif yang bertolak belakang dengan keselamatan.
“Seolah kami dijebak pada penilaian publik tentang rendahnya jaminan keselamatan transportasi penyeberangan ataupun SPM yang kurang,” urainya.
Sebagai asosiasi angkutan penyeberangan kata Khoiri, tidak bisa menerima tuntutan untuk keselamatan dari pemerintah. Sehingga, kesealmatan bukan menjadi tanggung jawab operator (pengusaha), tetapi tanggungjawab Kemenhub, karena kondisi pentarifan sangat minim.
Disebutkan Khoiri, tarif angkutan penyeberangan yang melakukan peerhitungan adalah pemerintah, sehingga ketika terjadi kekurangan dalam penetapannya seolah-olah ada unsur kesengajaan. “Bila terjadi kecelakaan, maka menteri yang harus bertanggungjawab,” tegas Khoiri.
Kurangnya tarif sebut Khoiri, selain berpengaruh pada faktor keselamatan juga mempengaruhi kesejahteraan karyawan yang selama ini sudah terganggu gajinya. “Kalau gaji tidak cukup akan menyebabkan konsentrasi kerja karyawan berkurang dan akhirnya akan berpengaruh pada keselamatan pelayaran,” contoh Khoiri.
ABAIKAN KESELAMATAN
Dalam kaitan itu kata Khori, Menhub menganggap bahwa keselamatan tidak penting dan seolah abai, padahal keselamatan nyawa publik tidak ternilai harganya dan menjadi kewajiban pemerintah sesuai UU.
Diuraikan Khoiri, pemberlakuan KM 184 tahun 2022 yang ditetapkan 15 September 2022 yang seharusnya berlaku 3 hari setelahnya, namun SK itu ‘layu sebelum berkembang’ yaitu tak pernah berlaku tanpa adanya kejelasan dan pencabutan walaupun batas waktu lewat yakni tanggal 19 September 2022.
PEMBANDING
Dalam ketentuan tarif, Khoiri memberikan perbandingan, untuk kenaikan tarif pada moda transportasi yang merupakan pasar dari angkutan penyeberangan, yaitu Organda sudah mengalami kenaikan 35 – 45 persen dan Aptrindo 40 persen sebelum terjadinya kenaikan tarif angkutan penyeberangan
“Mengapa hal ini tidak ada kontrol dari pemerintah? Ini berarti telah telah terjadi diskriminasi di mana moda transportasi laut tak diperhatikan oleh Kemenhub, padahal jargon Presiden Jokowi adalah maritim,” kata Khoiri.
Khoiri berharap, pernyataan penolakan dari Gapasdap ini dengan sejumlah alasan dapat didengar Presiden Jokowi. “Kita berharap Pak Jokowi segera melakukan pembenahan di sektor industri angkutan penyeberangan nasional dengan menciptakan iklm usaha kondusif yang menjamin keselamatan,” pungkas Khoiri. (gt)