Oleh: Rikmo Kuswanto *)
Dalam dua pekan terakhir ini, calon tunggal lawan kotak kosong jadi perbincangan. Rahmad Mas’ud, nahkoda Partai Golkar Balikpapan yang disasar. Rahmad adalah pertahana yang maju sebagai bakal calon walikota Balikpapan 2020.
Di media sosial dan group-group whatsapp, mengemuka beragam sindiran. Seorang blogger menulis, Pilkada 9 Desember nanti sebagai eksperimen politik produk yang cacat. Bahkan ada media cetak lokal memasang judul bombastis : Rahmad Mas’ud – Thohari Azis Kawin Paksa.
Dalam ranah politik, penilaian atau pendapat semacam itu sah saja. Keputusan politik adalah persepsi. Bisa menimbulkan opini publik. Pujian, sindiran bahkan hujatan sekalipun menjadi hal biasa. Aroma kolak pisang, hanya tercium saat jelang berbuka puasa. Tapi aroma politik lebih terasa baunya hingga ke warung kopi, kafe dan sudut kota lainnya.
Berawal ketika Thohari Aziz (PDI-P) dipublikasikan Golkar jadi pendamping Rahmad Mas’ud. Publik ragu kebenaran khabar itu. Wajar, sebab Rahmad sempat menolak menghadiri undangan Megawati. Bos besar PDI-P itu memanggil semua bakal calon walikota yang direkomendirnya kumpul di Jakarta. Cuma Rahmad yang tidak hadir. “Saya belum disetujui Golkar”, kata Rahmad memberi alasan.
Spekulasipun menyeruak. Rahmad butuh koalisi dengan PDI-P, tapi tidak suka disandingkan dengan Thohari Aziz. Ada sejumlah alasan. Diantaranya, elektabilitas Thohari rendah dibawah Edi Sunardi. Edi adalah kader muda PDI-P, anggota DPRD Kaltim. Rahmad lebih suka bersama Edi Tarmo, panggilan akrab Edi Sunardi.
Tapi tidak mudah merubah rekomendasi yang sudah diteken Megawati. Lalu dibuat skenario. Jika Edi Tarmo ditolak, Sayid Fadli, Sekda Balikpapan, disorong jadi jalan tengah menggantikan Thohari Aziz. Tapi puang Syafaruddin, Ketua PDI-P Kaltim, bergeming. Thohari adalah kader terbaik yang dimiliki PDI-P Balikpapan, setidaknya untuk saat ini. Terlebih, Thohari ketua partai. Itu rumor yang berhembus.
Jadilah suara riuh rendah diluar sana. Rahmad menolak Thohari, PDIP tersinggung. Rupanya suara-suara liar itu di dengar Rahmad. Dia lantas memainkan tempo irama politiknya. Rapat dengan keluarga besarnya. Lalu bicara : “Kami keluarga sepakat, Thohari Aziz pasangan kami”.
Ups.! Atmosfir Balikpapan menghangat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lantas mendeklarasikan dukungan untuk Rahmad-Thohari. Disusul Partai Demokrat dan Partai Hanura. Total 31 kursi dari 45 kursi parlemen yang mengusungnya. Melebihi ambang batas minimal 20 persen. Masih tersisa 14 kursi. Gerindra (6), Nasdem (3), PPP (3), PKB (1) dan Perindo (1).
Analis politik lokal, New Uedy menyebut, cukup riskan bagi Rahmad jika harus berkompetisi head to head dengan rival politiknya. Peluang kompetisinya berat ada. Ini dibaca Rahmad. Partai Gerindra jadi penentu. Dua kubu sama-sama melobi pusat partai di Jakarta.
Maka ketika Partai Gerindra menggelar jumpa pers Rabu (22/7), terjawab sudah eskalasi politik Balikpapan. “Gerindra mendukung Rahmad Mas’ud” kata Muhammad Taqwa, Ketua Partai Gerindra Balikpapan. “Kalau sudah begini, Game over,” kata New Uedy. Maka Pilkada Balikpapan 2020 dimungkinkan calon tunggal melawan kotak kosong.
MACHIAVELLI
Langkah politik Rahmad membangun koalisi besar itu jadi perbincangan. Media sosial dan group-group whatsapp diwarnai beragam komentar. “Keserakahan akan mematikan nalar dan hanya akan menyuburkan nafsu” tulis salah satu akun facebook. Massa pemilihpun mulai dipengaruhi. “Orang yang tidak mendukung kotak kosong, biasanya broker politik. Suka membohongi isi hati dan pikiran rakyat”, bunyi tulisan itu.
Sekali lagi, di wilayah politik, penilaian seperti itu sah saja. Tapi rasionalitas harus tetap dipakai.
Politik tidak bisa dibaca dengan kacamata hukum. Kacamata benar salah. Apalagi dibaca dengan kacamata moralitas. Tidak akan pernah matching ! Politik adalah seni berkenegaraan. Partai Politik adalah jalan menuju kekuasaan.

Tokoh filsafat politik, Machiavelli, menyebut pencitraan adalah cara untuk meraih kekuasaan. “Setiap orang dapat melihat anda, tapi hanya sedikit yang dapat menyentuh anda,” tulisnya dalam buku “Justify aliquo modo in potential consequl”. Menurutnya, kekuasan dan moralitas harus dipisahkan. Gagasan kekuasaan Machiavelli itu menjadi sumber inspirasi para kandidat yang ingin menjadi kepala daerah.
Merujuk teori kekuasaan Machiavelli, maka jika Rahmad menggalang banyak parpol masuk dalam koalisi Partai Golkar, tidaklah bisa disebut serakah. Tidak berakhlaq atau angkuh. Itu kata sifat dari moralitas. Bisa jadi Rahmad Mas’ud mempraktikan teori cara meraih kekuasaan. Seperti yang diajarkan Machiavelli.
Langkah politik Rahmad juga bukan eksperimen politik. Apalagi disebut produk yang cacat. Rahmad tidak menabrak UU No.10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. UU Pilkada hanya mengatur ambang batas minimal 20 persen dari jumlah kursi parlemen. Tapi tidak mengatur ambang batas maksimal. Inilah celah yang memunculkan potensi adanya calon tunggal. Terlebih Pasal 54C dan 54D UU No.10/2016 memberi ruang soal calon tunggal.
Maka menjadi penting pemahaman tentang politik dan kedewasaan dalam berpolitik. Dalam politik, tidak ada musuh atau kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan. Lihatlah Pemilu Presiden tahun lalu. Kampret dan cebong sepertinya sulit didekatkan. Tapi apa !? Sekarang mereka menyatu mesra dalam pemerintahan. (**)
*) Wartawan senior tinggal di Kota Balikpapan