Oleh: *) Sugito
Saya punya sahabat, dia orang Korea. Namanya Mr Lee. Tinggal di Kota Balikpapan dan seorang manajer perusahaan swasta home shopping terbesar di ‘Negeri Ginseng’ itu. Ada pelajaran menarik darinya. Ia pernah menilai saya ‘orang kurang baik’. Itu diucapkan dengan bahasa Indonesia tapi logat Koreanya yang kental. Apa pasal?
Waktu itu, saya berjanji di suatu tempat untuk minum kopi. Terlambat 10 menit; Dia tersenyum; “Anda orang kurang baik. Saya sudah menunggu 30 menit, anda lewat 10 menit dari pukul 10.00 Wita,” demikian nilainya. Saya bertemu dengan sahabat saya H Jani, pengusaha advertising yang temannya juga banyak orang Korea.
Mendengar itu, permintaan maaf kusampaikan. Dia minta, jika berjanji dengan seseorang harus tepat. Supaya disebut orang baik. Sederhana! Tapi, itulah sifat dia dan ada pelajaran baik. Pertemanan kami berdua berjalan 2 tahun. Sejak peristiwa itu, jika berjanji bertemu, kami selalu tepat waktu.
Terkejut! Sebab, ketika bicara agama dan kutanya, ia tidak beragama alias ateisme. Kontan, kuajukan pertanyaan: Mengapa tidak punya agama? “Agama itu untuk berkelakuan baik, budi pekerti harus baik. Harus sayang orang, tak boleh benci orang,” urainya.
Sahabatku, tulisan ini juga untuk introspeksi diri saya. Tentu, dalam hal mendudukkan pikiran agar selalu positive thinking. Sahabat Korea tadi tak beragama, tapi kesehariannya baik dengan siapapun. Bahkan selalu membantu orang yang kesusahan. Apa tindakannya benar? Tuhan yang Maha Tahu.
Terkadang, ada orang yang menilai, berteman, bersikap dan justru mengklaim dirinya paling benar dilihat dari agamanya. Benar, agama itu keyakinan. Jika dalam muslim namanya aqidah. Tak boleh digoyah.
Dan harus bersikap: Innaddinna Indallahil Islam. Sesungguhnya Agama yang Benar itu adalah Islam. Terpatri dalam diri kita dan meyakininya dalam kadar yakin yang kaffah atau menyeluruh. Dan itu domain individu kita dengan Allah.
Lalu ada cerita serupa: Waktu itu kami bersama rombongan perusahaan tour ke Tiongkok. Keliling, Shanghai, Guangzou, Beijing, Shencen. Masuk Restaurant milik orang Indonesia yang muslim. Pelayannya ramah-ramah dan cekatan; Menu yang dipesan tak lama datang ke meja. Sopan dan selalu membungkukkan badannya memberi hormat.
Di akhir acara dinner, kami ingin ‘berterimakasih’ dengan pelayan tadi; Memanggilnya, ada 2 pelayan; “thank you for your good service. This for you,” tangan saya memberinya tips. Mereka semua fasih berbahasa Inggris dan Tiongkok.
Lalu apa? Mereka semua menolak dengan jawaban yang sama: Katanya, bosnya melarang, jika mengambil tips sama dengan pungli dan korupsi. Dipaksa, tetapi tetap ditolak. Pertanyaan coba saya lontarkan: What is your religion. Jawaban koor bersamaan dari keduanya: Ateis. Mereka semua orang tanpa agama. Penulis tanya agama, jika satu keyakinan akan memberi salam sesuai keyakinan.
Pikiran penulis menerawang: Kalau orang tak beragama saja bisa baik, harusnya orang yang beragama atau punya agama lebih-lebih baik. Baik budi pekerti itu harus dilakukan untuk semua orang.
Dalam hal kebaikan ini, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah berucap: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang jangan pernah tanya apa agamamu.” Dahsyat dan Inspiratif.
Sahabatku, kita semua punya teman, tetangga dan bergaul di masyarakat. Waktu di bangku sekolah baik di SLTA maupun perguruan tinggi, tentu pergaulan itu ada yang lintas agama. Tentu selama bergaul tak pernah terucap: “Agamamu apa”.
Bung! Ini Indonesia dan sahabat kita beragam; Makanya ada bhineka tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Kau apapaun agamanya, apapun sukunya, maka persatuan Indonesia di pundakmu. Paham Dul (mengambil istilah sahabat saya bernama Dillah asal Kalteng).
Tulisan ini juga ingin memberi ilustrasi nalar supaya tidak merasa benar. Apalagi seolah ‘mengklavling surga’ hanya miliknya. Sebab, beragama itu dogma individu. Moralitas benar, tidak akan ada tanpa agama. Tapi tak dapat dipukul rata.
Apa gunanya mengaku beragama sementara laku kita justru sebaliknya. Coba lihat, para koruptor, fisiknya kan beragama tapi kelakuannya mencerminkan mereka tak ada etika. Tak perlu menilai orang lain jika dia berbuat baik itu dengan agama.
Karena, jika meninggal dunia, nama itu biasanya akan tersohor seperti pepatah Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Jika seseorang meninggal, maka karya baiknya selama hidup didedikasikannya untuk orang lain menjadi ukuran. Surga dan neragaka itu urusan Tuhan sang pencipta dunia.
Rasulullah SAW, orang mulia. Tapi dalam riwayat yang pernah penulis baca, dia cinta dan berperilaku baik dengan orang yang tidak satu agama. Sebutlah Yahudi. Sikap itu ditunjukkan kepada seorang pengemis. Setiap hari, Rasul datang untuk menyuapi pengemis itu, sebab ia tidak dapat melihat karena buta.
Tapi, Yahudi itu bersikap jahat kepada Rasulullah dan selalu ngrasani atau menceritakan Muhammad jahat. Hanya, Nabi tidak pernah berhenti berbuat baik dengan pengemis itu, meskipun dirasani jelek.
Akhirnya, Rasulullah meninggal dan yang menyuapi adalah penggantinya yang tentu dirasa tangannya berbeda. Ketika mengetahui bahwa yang menyuapi sebelumnya adalah Muhammad, pengemis tadi menangis dan menyatakan: mulianya wahai kau Muhammad. Sebab, selama ini dicaci-maki oleh pengemis tadi.
Dalam aspek kehidupan, sisi pribadi Rasul dapat dijadikan teladan dan contoh ideal. Moralitas pribadinya, keagungannya, bagaimana bertetangga, bermasyarakat bahkan perlakuaannya kepada non-Muslim banyak dipercontohkan dan beraklak baik.
Tulisan saya ini juga terkait dengan sosok Maestro Campur Sari almarhum Didi Kempot. Ada yang kepo maksimal, dan nyinyir lalu bangga menjadi ‘narasumber gosip’ mempertanyakan agama Didi Kempot apa? Yah, dunia isinya memang begini. Mungkin supaya hidup ini tak berjalan flat aliar lurus saja. Tapi, orang lain yang menjalani hidup kok mereka yang nyinyir?
Dari informasi para ustaz, justru Didi Kempot muslim. Seminggu sebelum meninggal, bahkan dia menyambangi sejumlah panti asuhan dan pesantren. Dan, perlu dicatat: dia sosok dermawan yang membangun masjid di Ngawi tempat ia dikebumikan. Dan, ia selalu belajar ngaji dengan Gus Miftah di pondoknya.
Yang nyinyir tentang agama itulah yang seharunya introspeksi. Tak beragama Islam pun kalau Didi Kempot baik atau orang lain baik justru itu sifat mulia. Perlu diketahui, seluruh sobat ambyar mendoakan atas kebaikan Didi Kempot.
Di akhir hayatnya, dalam membantu penanganan corona, dia pun membuat konser amal dengan Kompas TV dan menghasilkan Rp7,6 miliar. Juga sudah menghibur orang-orang se-Indonesia. Doa kebaikan itu terus mengalir hingga kini. Lalu, yang nyinyir, apa yang sudah diperbuat?
Wahai Sobat Ambyar, teruslah berdoa untuk Didi Kempot, agar hidupnya tenang di alam kubur. Karena, kebaikannya lahir atas dasar ketulusan hatinya. “Mas Didi Kempot, Kau Orang Baik Mas, dan Ji, ro, lu, pat, mo, nem, pitu wolu dan tak kintang-kintang selalu terdengar di telingaku dan menghibur diriku dan seluruh sobat ambyar seantero Indonesia yang kini hatinya pun ambyar. **
*) Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Balikpapan