TINTAKALTIM.COM-Dalam dunia penerbangan, ada istilah yang disebut katastropik pesawat. Itu adalah kegagalan berantai dengan terganggunya atau penyimpangan fungsi control pesawat yang bisa berakibat fatal.
“Jika terjadi dan dialami pilot atau co-pilot itu namanya ‘katastropik in cockpit’ karena bisa saja terjadi dalam ruang kokpit. Jadi banyak faktor. Kita tidak boleh berasumsi sebab ada domain atau wewenang institusi yang memutuskan yakni Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT),” kata Amri Muharam, mantan pilot, saat memberi pandangan jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ 182.
Amri —biasa disapa–, sebagai adviser safety driving and ridding yang cabangnya ada di Jakarta, Surabaya, Jogyakarta dan Balikpapan. Di Kota Balikpapan ada di Gedung Parkir Klandasan.
Selain itu ia juga instruktur yang secara nasional selalu tampil untuk menjadi narasumber pelatihan safety di bidang lalu-lintas sekaligus owner belajarnyetir.id atau lembaga kursus mengemudi yang resmi dengan instruktur handal dan berstifikasi safety driving.
Kejadian jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan Pulau Seribu menurut Amri, harus diinvestigasi maksimal. Tak dapat berandai-andai. Sebab, sekarang beredar ada yang sebut human error, cuaca serta kaitan perawatan yang lemah karena kondisi covid-19 dan lainnya.
Dari pengalamnnya selama menerbangkan pesawat Garuda, menurut Amri, keselamatan pesawat itu lebih maksimal. Fasenya panjang. Tak hanya di sisi pesawat tetapi juga bandar udara, navigasinya dan fasilitas penunjang lainnya.
Hanya, kemungkinan penumpang tak selamat naik pesawat itu juga sangat kecil dibandingkan moda transportasi lainnya. Karena, 1 dibandingkan 1 juta. Jika kecelakaan mobil 1 berbanding 5.000 (berdasarkan data KNKT).
Tetapi diakui Amri, jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, pemberitaan media begitu gencar. Bahkan berhari-hari, sebab dianggap ada ragam angle menarik. Bahkan, sampai detail seperti kehidupan pilot, penumpang yang gagal terbang akhirnya selamat atau kisah suami-istri yang punya firasat dan lainnya.
AUTOPILOT
Dalam konteks menerbangkan pesawat, di era sekarang jenis-jenis pesawat ujar Amri, sudah menggunakan autopilot. Hanya, peran pilot dan co-pilot bukan berarti tidak berfungsi kendati sebagian besar telah diambil alih oleh perangkat lunak.
Beda dengan kendaraan darat. Tak mungkin menggunakan semacam autodriver. Sebab, kendaraannya harus dikemudikan manusia penuh konsentrasi.
“Kan nggak bisa, kendaraan yang saya tumpangi lalu menggunakan alat otomatis berjalan sendiri karena mengikuti perintah seperti autopilot. Saya mau ke Kebun Sayur dari Rapak, tanpa kendali terus berjalan. Nggak ada toh sekarang. Mungkin nanti diciptakan begitu,” contohnya.
Itulah, yang dinamakan safety. Lebih safety naik pesawat. Tetapi, kata Amri, jika salah satu komponen aktif pesawat rusak atau kejadian kesalahan oleh perangkat lunak yang berfungsi mengendalikan misi penerbangan, maka kerusakannya dengan segera akan menjalar ke seluruh sistem. Kerusakan mendadak dalam skala besar dan berlangsung dalam waktu yang sangat pendek. Itu lazim disebut kerusakan katastropik tadi.
“Dalam kokpit pesawat Sriwijaya kita kan tidak tahu. Mengapa posisi vertical speed begitu cepat turunnya atau menukik. Ini bisa saja ada dugaan loss of aircraft control. Apalagi orang masuk kokpit itu tidak boleh sembarangan, dulu di era saya masih ada yang disebut visit to cockpit,” kata Amri.
Ada sejumlah kejanggalan memang jika menganalisa Sriwijaya SJ 182, awalnya dengan ketinggian pesawat paling tinggi 10.900 kaki serta kecepatan vertical pesawat saat itu dilaporkan 512 feet per menit, artinya pesawat naik sesuai dengan vertical navigation performance setelah 10.000 feet. Tiba-tiba pada pukul 07.40 pesawat tiba-tiba drop hingga -4,544 feet per menit. Kemudian track-nya mulai miring ke kiri.
“Itu yang saya sebut ada dugaan loss of aircraft control, namun tetap harus dibuktikan melalui data flight data recoerder dan cockpit voice recorder maupun metode lainnya. Ini hanya analisa teknis,” ujar Amri Muharam.
STALL
Amri juga menjelaskan bagaimana pesawat terbang yang mengalami kecelakaan bisa disebut stall. Konsepsi ini jika untuk mobil berarti kerusakan terkait mesin. Hanya untuk pesawat adalah kehilangan kekuatan untuk mengangkat. Stall terjadi karena bertambahnya hambatan udara pada bagian sayap pesawat terbang seingga pesawat kehilangan kemampuan untuk terangkat di udara.
“Stall bisa terjadi saat lepas landas atau hendak mendarat, kecepatan pesawat saat itu relatif lambat. Ini bisa memicu pesawat terjun bebas. Dalam konteks Sriwijaya SJ 182 sejumlah pilot menduga begitu. Tapi semua kita serahkan ke KNKT,” ujar Amri berkali-kali.
TAKDIR
Sementara itu, Amri Muharam juga menilai tak perlu takut akan kejadian musibah jika harus naik pesawat. Singkatnya, terbang sejauh ini adalah moda transportasi paling aman. Pesawat itu memiliki teknologi canggih yang bisa membuatnya terhindar dari stall meskipun sang pilot berusaha untuk menjatuhkannya.
“Jadi para traveler tak perlu khawatir. Kematian itu takdir. Termasuk bencana. Naik pesawat, ikuti standar keselamatannya dan berdoa. Tak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada diri manusia melainkan telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh oleh Allah,” pungkas Amri mengutip Surah Alquran Al-Hadid 22. (git)